SAUDARA-SAUDARA KU, setiap orang digerakkan oleh dua hal yakni ekonomi (harta) dan rasa aman. Namun ada orang yang digerakkan bukan oleh dua hal di atas. Siapa mereka? Merekalah orang-orang ikhlas yang digerakkan oleh keyakinan akan perjumpaan dengan Allah SWT suatu hari kelak. caranya? ESQ 165 The Way of Live. Join Us!

16 Agustus 2011

Apa katanya tentang Nabi Muhammad SAW

. 16 Agustus 2011
1 komentar

SIR GEORGE BERNARD SHAW (The Genuine Islam,’ Vol. 1, No. 8, 1936.)





“Jika ada agama yang berpeluang menguasai Inggeris bahkan Eropah – beberapa ratus tahun dari sekarang, Islam-lah agama tersebut.”



Saya senantiasa menghormati agama Muhammad karena potensi yang dimilikinya. Ini adalah satu-satunya agama yang bagi saya memiliki kemampuan menyatukan dan merubah peradaban. Saya sudah mempelajari Muhammad sesosok pribadi agung yang jauh dari kesan seorang anti-kristus, dia harus dipanggil ’sang penyelamat kemanusiaan”
“Saya yakin, apabila orang semacam Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern ini, dia akan berhasil mengatasi segala permasalahan sedemikian hingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang diperlukan dunia: Ramalanku, keyakinan yang dibawanya akan diterima Eropah di masa datang dan memang ia telah mulai diterima Eropah tika saat ini.
“Dia adalah manusia teragung yang pernah menginjakkan kakinya di bumi ini. Dia membawa sebuah agama, mendirikan sebuah bangsa, meletakkan dasar-dasar moral, memulai sekian banyak gerakan pembaruan sosial dan politik, mendirikan sebuah masyarakat yang kuat dan dinamis untuk melaksanakan dan mewakili seluruh ajarannya, dan ia juga telah merevolusi pikiran serta perilaku manusia untuk seluruh masa yang akan datang.
Dia adalah Muhammad (SAW). Dia lahir di Arab tahun 570 masehi, memulai misi mengajarkan agama kebenaran, Islam (penyerahan diri pada Tuhan) pada usia 40 dan meninggalkan dunia ini pada usia 63. Sepanjang masa kenabiannya yang pendek (23 tahun) dia telah merubah Jazirah Arab dari paganisme dan pemuja makhluk menjadi para pemuja Tuhan yang Esa, dari peperangan dan perpecahan antara suku menjadi bangsa yang bersatu, dari kaum pemabuk dan pengacau menjadi kaum pemikir dan penyabar, dari kaum tak berhukum dan anarkis menjadi kaum yang teratur, dari kemunduran ke keagungan moral. Sejarah manusia tidak pernah mengenal tranformasi sebuah masyarakat atau tempat sedahsyat ini bayangkan ini terjadi dalam kurun waktu hanya sedikit di atas DUA DEKAD.”






Selengkapnya...

Tak Kenal Maka Tak Sayang

.
1 komentar


MICHAEL H. HART (THE 100: A RANKIN G OF THE MOST INFLUENTIAL PERSONS IN HISTORY, New York, 1978)


Pilihan saya untuk menempatkan Muhammad pada urutan teratas mungkin mengejutkan semua pihak, tapi dialah satu-satunya orang yang sukses baik dalam tataran sekular mahupun agama. (hal. 33). Lamar tine, seorang sejarawan terkemuka menyatakan bahwa: “Jika keagungan sebuah tujuan, kecilnya fasiliti yang diberikan untuk mencapai tujuan tersebut, serta menakjubkannya hasil yang dicapai menjadi tolok ukur kegeniusan seorang manusia; siapakah yang berani membandingkan tokoh hebat manapun dalam sejarah moden dengan Muhammad? Tokoh-tokoh itu membangun pasukan, hukum dan kerajaan saja. Mereka hanyalah menciptakan kekuatan-kekuatan material yang hancur bahkan di depan mata mereka sendiri.
Muhammad bergerak tidak hanya dengan tentera, hukum, kerajaan, rakyat dan dinasti, tapi jutaan manusia di dua per tiga wilayah dunia saat itu; lebih dari itu, ia telah merubah altar-altar pemujaan, sesembahan, agama, pikiran, kepercayaan serta jiwa… Kesabarannya dalam kemenangan dan misinya yang dipersembahkan untuk satu tujuan tanpa sama sekali berhasrat membangun kekuasaan, sembahyang-sembahya ngnya, dialognya dengan Tuhan, kematiannnya dan kemenangan-kemenang an (umatnya) setelah kematiannya; semuanya membawa keyakinan umatnya hingga ia memiliki kekuatan untuk mengembalikan sebuah dogma. Dogma yang mengajarkan ketunggalan dan keghaiban (immateriality) Tuhan yang mengajarkan siapa sesungguhnya Tuhan. Dia singkirkan tuhan palsu dengan kekuatan dan mengenalkan tuhan yang sesungguhnya dengan kebijaksanaan. Seorang prajurit, ahli hukum, penakluk idea, pengembali dogma-dogma rasional dari sebuah ajaran tanpa pengidolaan( pemujaan) , pendiri 20 kerajaan di bumi dan satu kerajaan spiritual, ialah Muhammad. Dari semua standard bagaimana kehebatan seorang manusia diukur, mungkin kita patut bertanya: adakah terdapat orang yang lebih agung dari dia?”



Selengkapnya...

30 Maret 2011

Laskar Pelangi dari Sadan

. 30 Maret 2011
1 komentar

Menyusuri Pedalaman Hutan Bukit Tigapuluh



Pernahkan terbayangkan, anak umur tujuh tahun menempuh perjalanan menuju sekolahnya dengan tantangan alam yang luar biasa? Sepuluh orang anak Melayu Belitong pernah mengalaminya tiga puluh tahun lalu. Mereka terkenal lewat novel Laskar Pelangi. Di Riau, tepatnya di pedalaman hutan Bukit Tigapuluh hal serupa terjadi. Bukan tigapuluh tahun lalu tetapi hingga hari ini.



Laporan HELFIZON ASSYAFEI, Rantau Langsat
helfizon@riaupos.com

MALAM baru saja menanggalkan jubah hitamnya. Fajar menyingsing menimbulkan safak merah dan kuning di ufuk Timur. Suatu pagi yang asri dan segar di pedalaman hutan Bukit Tigapuluh, Rabu (16/3). Embun pagi masih menetes di dedaunan. Angin bertiup pelan membawa hawa dingin yang menerpa kulit. Jejak hujan tertinggal pada ceruk-ceruk jalan setapak yang tergenang air. Suara satwa hutan terdengar saling bersahutan.
Ketika itu kami (tim liputan khusus Riau Pos, red) sedang berada di pedalaman hutan. Tepatnya di kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Kawasan ini terletak pada ketinggian 60 - 843 meter di atas permukaan laut dengan puncak tertinggi terdapat pada Bukit Supin. Daerah perbukitan ini terpisah dengan rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang memanjang dari Selatan ke Utara Pulau Sumatera. Secara administratif kawasan hutan Bukit Tigapuluh ini terletak di dua provinsi yaitu Provinsi Riau pada Kabupaten Indragiri Hulu (81. 223 ha) dan Indragiri Hilir (30.000 ha) serta Provinsi Jambi pada Kabupaten Tanjung Jabung Barat (10.000 ha) dan Tebo ( 23.000 ha).
Jalan setapak di dalam hutan itu tidak rata, basah, licin dan dipenuhi akar pepohonan yang bermunculan di permukaan tanah. Bunyi ranting patah dipijak orang sesekali terdengar dikesunyian hutan pagi itu. Bunyi itu berasal dari kaki-kaki kecil tak beralas yang melangkah selincah kijang hutan. Berjalan seperti orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh dalam cerita silat. Kami ikut rombongan kecil yang sedang melintas hutan. Rombongan kecil itu terdiri anak-anak berseragam sekolah yang sedang berjalan paling depan.
Di belakang mereka ada Suwandi penduduk lokal, Andi Moenandar seorang staf dari Kantor Balai TNBT dan Riau Pos mengikuti. Kami ingin tahu rute yang ditempuh anak-anak di sana untuk mencapai sebuah sekolah marjinal di Dusun Sadan, sebuah dusun kecil di tepi Sungai Gangsal di kaki Bukit Tigapuluh. Rute yang dilewati cukup menantang. Jalan setapak dalam hutan itu tidak seperti jalan setapak umumnya. Tidak mudah dikenali karena sebagian besar nyaris tidak kelihatan ditutupi rimbun semak belukar dan akar yang menjuntai dari pepohonan. Meski demikian anak-anak itu tahu caranya. Hanya dengan melihat semak yang rebah lebih rendah dari yang lain mereka tahu itu kode jalan setapak dalam hutan.
Mereka terus berjalan. Sementara kami tercecer di belakang dengan badan yang basah oleh keringat. Medan yang dilalui memang tidak mudah bagi yang tidak biasa. Sesekali harus melintasi lereng bukit dengan kelandaian 45 derajat dengan kondisi licin. Apalagi malam sebelumnya turun hujan lebat. Lereng bertanah liat kuning itu makin licin. Ketiga siswa SD yakni Yuna (7), Anggi (7) dan Kurnia (8) itu sembari memegang sepatu di tangan, enteng saja melewati lereng tersebut. Sedangkan kami harus berpegangan pada akar pepohonan yang keluar dari tanah. Upaya ini untuk menahan tubuh agar tak merosot ke bawah karena pijakan di tanah liat membuat kaki mudah tergelincir.
Nafas kami tersengal-sengal mengimbangi kecepatan kaki-kaki kecil tersebut. Sejurus kemudian sebuah tantangan lain menunggu: melintasi anak sungai lewat batu-batu pegunungan yang menonjol keluar perut sungai. Batu tersebut berlumut dan licin karena dilalui aliran air terjun bertingkat hanya satu meter di belakang batu-batu itu. Air terjun bertingkat itu bernama air terjun Tembulun Kuning. Dinamakan seperti itu menurut penduduk lokal setempat, Suwandi, karena dulunya wilayah itu ada dusun yang didirikan oleh tetua kampung setempat bernama Datuk Tembulun Kuning.
Sekarang dusun itu tidak ada lagi. Hanya tinggal nama. Sedangkan wilayah itu telah jadi hutan dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi.
Melintasi batu licin karena lumut dan derasnya air cukup memicu adrenalin. Sedikit saja silap dan tergelincir batu cadas lainnya menunggu di bawah. Sebuah tantangan yang cukup berbahaya melintasinya. Lagi-lagi kami melihat ketiga bocah itu tak menemui kesulitan berarti melewati anak sungai berbatu yang dihiasi air terjun tersebut. Sementara kami merangkak memegangi ujung batu yang pecah agar tak tergelincir, anak-anak itu telah sampai di seberang. Mereka tak dapat menahan tawa melihat cara kami melintasi anak sungai berbatu tersebut.
Perjalanan dilanjutkan dan kembali masuk hutan. Sejenak suasana agak gelap karena pohon-pohon tinggi saling bertautan menghalangi sinar mentari mencapai tanah. Kami berhenti sejenak di sebuah gundukan tanah yang diberi batu di bagian depannya yang menghadap ke Utara. ”Ini makam Datuk Tembulun Kuning,” ujar Suwandi menjelaskan. Di sekitar pusaranya masih terdapat dua batang bambu yang terpacak bekas tempat lampu colok yang masih menyisakan abu di sumbunya. ”Orang-orang yang pernah tinggal di kampung ini masih kerap kemari ziarah,” ujar Suwandi lagi.
Kaki-kaki kecil tanpa alas itu kembali melangkah. Sejurus kemudian kami kembali menemukan anak sungai yang jernih dan dangkal. Dasar sungai itu penuh dengan pecahan kecil-kecil bebatuan pegunungan. Airnya yang dingin dan segar langsung menyergap kaki saat masuk ke dalamnya. Hanya selutut orang dewasa. Setelah itu perjalanan napak tilas itu berlanjut. Setelah sebuah turunan tajam kami berhadapan dengan rawa yang terkesan agak liar. Namun tidak bagi ketiga bocah itu.
Sembari berlari kecil rawa berlumpur itu sukses mereka lalui. Akan halnya dengan kami yang mengikuti tak semudah itu. Ketika kaki terbenam selutut ditarik untuk melangkah, alas kaki berupa sandal jepit langsung tertinggal di lumpur. Tak ada waktu mencari sendal itu lagi karena ketiga bocah kecil itu telah sampai di bibir Sungai Gangsal. Hujan yang turun semalam membuat sungai banjir dan arus deras. Sangat berisiko untuk direnangi menyeberang. Untunglah ada sampan.
Di dalam sampan barulah fotografer Riau Pos menyadari sejumlah pacet (lintah, red) telah menempel di kaki hingga ke pahanya. Satunya lagi menempel di pergelangan tangan kanan yang saat ditarik menimbulkan lubang kecil yang mengalirkan darah cukup banyak. Sejurus kemudian sampan kami merapat ke tepian Dusun Sadan. Di sana kami bertemu Anwardi (50). Anwardi adalah warga Dusun Nunusan sekitar 13 km di hilir Dusun Sadan. Ia ada keperluan ke Sadan.
Ketika mendengar Riau Pos melakukan napak tilas rute anak sekolah dari Tembulun Kuning menuju Sadan, ia tersenyum. ”Itu baru jarak sepelemparan batu. Belum lagi tu,” ujar nya terkekeh. Dari penuturan Anwardi, rute yang dinapaktilasi Riau Pos itu belum apa-apa diban ding jarak yang harus ditempuh anak-aak dari Dusun Tanjung Lintang tak jauh dari Dusun Nunusan tempatnya tinggal.
Dengan jarak tempuh sekitar 10 km lewat Sungai Gangsal yang penuh liku jelas tidak memungkinkan bagi anak-anak di Tanjung Lintang sampai ke sekolah pada waktunya. Maka sebuah pilihan penuh tantangan dilalui anak-anak itu. Mereka harus menempuh jalan darat memotong dengan keluar masuk hutan lebat dan naik turun bukit.
Lebih dahsyat lagi mereka tidak kurang dari lima kali menyeberangi Batang Gangsal yang lebar dan berarus deras tersebut. Tujuannya memotong jalan agar le bih dekat dari pada bersampan mengikuti alur sungai yang penuh liku.
Penuturan Anwardi dibenarkan oleh staf TNBT, Andi Moenandar. Dalam tugas rutinnya turun ke hutan pedalaman Bukit Tigapuluh menggunakan perahu tempel, ia kerap melihat rombongan anak-anak umur tujuh hingga dua belas tahun tahun berenang melintasi Batang Gangsal untuk mencari jalan pintas menuju Sadan. ”Sambil berenang dengan satu tangan, tangan lainnya mengangkat tinggi-tinggi pakaian sekolah mereka agar tidak basah,” ujar Andi. Artinya jika dihitung pulang pergi tidak kurang dari 10 kali berenang menyeberang ditambah keluar masuk hutan.
Dari penuturan Anwardi tergambar semangat besar anak-anak pedalaman tersebut. ”Apapun cuacanya mereka tak mau dilarang dan bersikeras ingin sekolah,” ujar Anwardi. Kecuali bila hujan lebat dan arus sungai makin ganas maka anak-anak kelas I tidak akan dilepas orangtuanya berangkat ke Sadan. Sedangkan kelas III ke atas sulit mela¬rangnya. Terkadang alasan ke kebun, lanjutnya, ternyata diam-diam telah ikut konvoi teman sebaya melintas hutan dan sungai menuju Sadan untuk belajar.
Padahal, lanjutnya, pada musim hujan lebat, medan menuju Sadan makin ganas. Hujan lebat bisa me ngubah jalan setapak jadi sungai yang bisa menggenangi daratan hingga setinggi dada orang dewasa. Belum lagi guruh dan halilintar yang dapat membuat pohon kelapa dan pohon hutan lainnya bergelimpangan terbelah dua menutup jalan-jalan setapak yang ada.
”Tolong sampaikan suara kami ini pada bapak-bapak pejabat di kota sana, kalau bisa tolonglah sekolah itu juga dibuat di Dusun Nunusan agar anak-anak tak terlalu jauh berjalan hingga ke Dusun Sadan untuk sekolah,” ujarnya. Ia juga mengundang Riau Pos nanti pada saat pulang ke hilir agar singgah sebentar di Dusun Nunusan. ”Lihatlah kampung kami cukup ramai. Ada sekitar 35 kepala keluarga. Jadi sudah layak memiliki sekolah sendiri,” ujarnya berharap.

Sanggar Belajar Sadan
Menginjakkan kaki di halaman sanggar belajar Sadan mata kami langsung disambut pemandangan dua rumah papan dicat kapur putih kontras dengan pepohonan hutan hijau ranau di belakangnya. Pekarangan sekolah yang cukup luas itu serasi dengan rumput halus yang tumbuh di depannya bak permadani sutera hijau yang indah. Di depan satu rumah papan itu berdiri sebuah plang nama berwarna dasar hijau dengan deretan huruf berwarna kuning. Di sana tertulis: Sanggar Belajar Sadan. Juga tertulis di atasnya Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatera (PKHS).
Di teras depan kelas berlantai tanah itu sebatang tiang bendera tersandar membentuk sudut landai 45 derajat. Bendera Merah-Putihnya belum dilepas dan bersama tiang atasnya terselip di atap pojok kanan teras. Sedangkan tiangnya melintang hingga ke depan pintu kelas yang terkunci rapat. Tidak ada aktivitas apa-apa. Sekolah itu hanya memiliki satu kelas tak sampai seluas sebuah lapangan bulutangkis. Berdinding papan dengan cat kapur putih tanpa jendela. Hanya ruang ventilasi udara di bagian atas kelas setinggi 0,5 meter yang dipasangi kayu biasa. Kursi dan meja yang terbuat dari ranting kayu hutan tertancap ke lantai tanah ruang kelas itu. Kami dikerubuti agas (nyamuk hutan, red) begitu melangkah ke dalam kelas. Tiap sebentar harus memukuli kaki dan tangan menghalau serangan agas itu.
Di dinding kelas depan ada sebuah papan tulis hitam dengan sejumlah tulisan kapur soal angka-angka pertambahan dan pengurangan yang belum dihapus. Di atasnya lagi terpampang gambar Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Di sebelahnya lagi Wakil Presiden Boediono yang gambarnya melengkung ke depan akibat tak dibingkai.
Mata Yana tampak berbinar. Juga Anggi dan Kurnia. Mereka tak dapat menyembuyikan ke gembiraan mereka saat masuk ke kelas itu. Begitu juga kehebohan sejumlah teman-teman mereka di Dusun Sadan yang ramai-ramai datang ke sanggar. Pasalnya sudah tiga bulan tidak ada aktivitas di sanggar itu. Dan mereka tak tahu kenapa.
Ompol (45) seorang warga setempat yang hendak ke anak sungai di belakang sekolah berhenti melihat ada rombongan di depan sanggar itu. Ia mendekat. Dari penuturannya kepada Riau Pos ia sedih setiap melihat sanggar itu. “Anak-anak saya selalu ber tanya mengapa sekolah tidak buka yah?” ujarnya. Ompol berharap agar sanggar itu secepatnya kembali aktif. Kegundahan serupa juga dialami oleh Suwandi Ketua RT Sadan. “Saya risau juga karena sebagian anak warga sudah ada yang ke Lemang untuk bisa sekolah di sana,” ujarnya.
Sedangkan mereka masih menunggu kemungkinan sanggar belajar ini diaktifkan lagi karena ke Dusun Lemang jelas perlu biaya. Sebagian besar siswa sanggar itu tak memakai alas kaki dan juga tak memiliki seragam. Hanya tiga bocah yang kami ikuti tadi yang punya seragam bekas hasil sumbangan dari PKHS. Kelas sederhana itu dipakai bergantian. Pagi untuk kelas satu, dua dan tiga. Jelang siang dipakai untuk kelas empat, lima dan enam.
Sekolah itu tidak pernah dikunjungi penjual kain, penilik sekolah apalagi anggota dewan. Satu-sa tunya yang rajin berkunjung a dalah seorang pria sederhana bernama Lancar. Ia kepala sekolah merangkap jadi guru di sanggar belajar itu. Lancar sejatinya bukan guru. Ia staf TNBT rekrutan lokal yang dikontrak PKHS mengajar di Sadan. Meski nilai kontrak tidak seberapa, Lancar terpanggil jiwanya. Apalagi tidak banyak yang mau dan mampu bertahan di dalam hutan untuk mengajar anak-anak itu. Masuk ke sana berarti komunikasi terputus dari dunia luar. Tidak ada sinyal telepon genggam apalagi listrik.
”Sekali masuk ke dalam saya bertugas hingga 15 hari. Sisanya teman saya lainnya,” ujar Lancar yang sempat bertemu Riau Pos sehari sebelum kami turun ke Dusun Sadan. “Pernah ada keluarga yang meninggal saya tak bisa dihubu ngi dan baru tahun 15 hari kemudian setelah keluar dari Sadan,” kenangnya. Untuk mengetahui kemampuan para murid, lanjutnya, se tiap enam bulan dilakukan evaluasi (ujian semester). Beberapa mata pelajaran yang diajarkan dan diujikan yakni Bahasa Indonesia, Matematika, Sains (IPA), Ilmu Pengatahuan Sosial (IPS), Seni dan Keterampilan. Sampai akhir tahun 2008, jumlah murid yang telah memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung dengan baik dan lancar berjumlah 27 murid.
Untuk memperkaya materi yang diberikan, Lancar menjalin kerja sama dengan SDN 026. Ia kerap memberikan soal-soal yang diujikan dalam berbagai ujian resmi dan ternyata mereka cukup mampu untuk memahami dan mengerjakan soal-soal itu. ”Hasilnya tujuh orang di antara mereka yang kelas enam dipersiapkan untuk mengikuti ujian nasional tahun ini,” ujarnya lagi. Lalu mengapa sudah tiga bulan vakum?
Kordinator PKHS Bukit Tigapuluh, Santoso saat dihubungi Riau Pos mengatakan bahwa kevakuman itu disebabkan masalah klasik yakni dana. Dana funding PKHS dari Inggris yang biasanya diterima per tiga bulan, macet di akhir Desember 2010. Dampaknya operasional PKHS untuk Januari-Maret 2011 juga ikut macet. ”Anggaran tidak turun se hingga kita tidak bisa menurun kan guru ke Sadan,” ujar Santoso.
Untuk bisa sampai ke Sadan tidak ada transportasi reguler. Oleh karena itu mereka melakukan kontrak per tiga bulan dengan warga lokal pemilik perahu mesin boat tempel. Satu kali berangkat ke dalam menuju Sadan sewa pe rahu Rp750.000. Pulang-pergi Rp1.500.00. Belum lagi biaya makan yang dianggarkan Rp30.000 per hari.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa PKHS malah tertarik membangun sekolah sedangkan bidangnya pelestarian harimau Sumatera? Santoso menjelaskan awalnya tidak terpikir bangun sekolah. Se telah sebuah kasus penangkapan harimau oleh pemburu dengan memperalat masyarakat lokal PKHS sadar bahwa pelestarian harimau tidak bisa secara parsial. “Kami ingin sejak dini mereka mendapatkan pendidikan agar tak mudah diperalat kelak oleh orang-orang yang punya itikad buruk,” ujarnya. Lewat mengajari anak-anak, tambahnya, pesan pelestarian lingkungan juga sampai ke orangtua mereka.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa program pendidikan bagi anak–anak pedalaman TNBT pertama kali didirikan dan dilaksa nakan oleh PKHS tahun 2003. Lokasi kegiatan pendidikan berada di dusun Datai. PKHS mendirikan dan mengelola sebuah tempat belajar yang sangat sederhana dan diberi nama Sanggar Belajar Datai. Sanggar belajar ini sempat jalan dua tahun dan berakhir pada Desember 2005 karena tidak ada biaya.
Pada akhir operasional sanggar belajar ini, jumlah murid yang pernah belajar adalah 82 orang. Selama kurun waktu 2 tahun, sebanyak 33 orang murid telah memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau sekitar 40 persen dari keseluruhan murid. Kemudian pada pertengahan 2007, sanggar ini diteruskan pengelolaannya oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Indragiri Hulu lewat UPTD Pendidikan Batang Gangsal.
Pada awal 2007 PKHS mengembangkan sanggar belajar berikutnya lebih ke hilir. Lalu dipilihlah Dusun Sadan untuk merintis sekolah marjinal berikutnya.
Dusun Sadan dipilih karena secara geografis berada di tengah-tengah. Terdapat tujuh dusun dalam wilayah Desa Rantau Langsat di sepanjang Sungai Gangsal dari hulu ke hilir, Dusun Datai, Suit, Air Bomban, Sadan, Tanjung Lintang, Nunusan dan Lemang, yang ditempati oleh masyarakat Talang Mamak dan Melayu Tua. Masyarakat tersebut tinggal tersebar di 15 pemukiman, di mana pemukiman Datai Tua, Suit, Air Bomban, Nunusan dan Lemang sebagai pusat dusun.
Lebih lanjut Santoso menjelaskan bahwa sanggar belajar itu resmi dibuka PKHS Pada tanggal 15 Mei 2007. Pada tahap awal terdaftar 56 murid. Mereka berasal dari Dusun Suwit (39,1 persen), Sadan (30,7 persen), Air Bomban (21,3 persen) dan Tanjung Lintang (8,9 persen). Selanjutnya jumlah murid mengalami fluktuasi dengan ada nya murid yang keluar dan yang masuk menjadi murid baru. Jumlah murid pernah mencapai 72 orang pada Desember 2007.
Alasan murid keluar atau berhenti adalah karena menikah atau ikut orang tua pindah. Di samping itu sering terjadi murid yang telah keluar atau lama berhenti tetapi kemudian masuk dan belajar kembali. Biasanya hal ini karena mereka harus membantu orang tua bekerja terutama pada musim membuka ladang dan menanam padi serta waktu musim panen

Mencapai Sadan
Sadan hanya sebuah dusun kecil di bawah kaki bukit tigapuluh. Terletak di bibir Batang Gangsal dan dikelilingi hutan. Ia adalah bagian dari Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gangsal, Kabupaten Indragiri Hulu Riau. Dari Kota Pekanbaru kita harus menuju Pematang Reba-Rengat melewati Jalan Lintas Timur berjarak tempuh 196 Km. Dari Pematang Reba menuju pintu masuk melalui simpang Siberida jarak tempuh mencapai Rp50 km.
Untuk mencapai akses Sungai Gangsal di Dusun Lemang jarak tempuh dari simpang Siberida mencapai 13 Km ke dalam melewati beberapa dusun yakni Dusun Usul, Siambul, Siamang dan Lemang. Menjelang Dusun Siambul yang ada hanya jalan tanah dengan pasir dan batu (sirtu). Mobil kami hanya bisa sampai di Dusun Siambul karena rute berikutnya jalan tanah liat yang licin dan penuh lubang sebesar kubangan kerbau.
Mulai dari Siambul kami harus menggunakan ojek dengan tarif Rp25.000 per orang. Melewati deretan kebun karet dan dusun-dusun kecil. Makin ke dalam kondisi jalan makin menantang. Jalan berlubang, licin dan penuh tanjakan curam dan turunan yang tajam. Gas di putar habis oleh pengendara ojek membuat mesin meraung-raung dan tubuh terguncang-guncang dengan jantung berdegup. Di beberapa tempat kami terpaksa turun karena tanjakan penuh lubang besar berlumpur.
Kami sempat melihat sebuah mobil pick-up terjebak dalam kubangan lumpur di tengah jalan dan sedang didorong ramai-ramai oleh penumpangnya. ”Mereka mau mengambil/membeli karet ke dalam bang,” ujar Astar sang pengojek. Untuk mencapai Dusun Lemang kami melewati dua dusun lagi masing-masing Rantau Langsat dan Siamang. Setelah mencapai Dusun Lemang barulah kami melihat satu SDN 004. Ojek kami terus melaju. Pada pukul 13.30 WIB akhirnya kami mencapai Dusun Lemang. Personil TNBT, Andi Munandar kemudian menghubungi pemilik perahu tempel. Mereka bersedia mengantar ke dalam dengan biaya sewa perahu tempel Rp800.000. Tak bisa dinego lagi dan tak ada pilihan.
Kami bergerak dari Dusun Siamang ke hulu melawan arus menggunakan perahu bermesin tempel merk Yamaha berkekuatan 15 PK. Panas menyengat kulit saat sampan tempel kami bergerak meninggalkan Dusun Siamang pukul 14.30 WIB. Namun angin dingin yang menerpa kulit jadi penawar sengatan mentari. Baru beberapa menit perahu tempel berjalan, keindahan Sungai Gangsal mulai terpampang di depan mata. Alur sungai yang berkelok-kelok dengan kiri kanan perbukitan yang hijau ranau menampilkan sebuah landscap alam yang memukau. Tak jarang kami menemui pohon-pohon besar saling bertautan dari masing-masing pinggir sungai dan kami lewat di bawahnya. Sinar mentari yang terik menerpa sungai dan memantul ke pepohonan rimbun yang akarnya menjuntai ke bawah menimbulkan siluet jingga yang eksotis.
Tipikal Sungai Gangsal adalah khas sungai pegunungan. Meski lebar tetapi tidak semuanya dalam. Sebentar dalam sebentar dangkal. Tarji si juru mudi dan Tarjo pengendali depan dengan menggunakan galah harus berjibaku mengendalikan perahu tempelnya mencari tempat yang dalam agar kipas mesin tidak menyangkut atau membentur bebatuan yang banyak di dasar sungai. Tak jarang batu-batu besar mencuat di permukaan sungai seperti dam raksasa yang harus dilewati. Melewatinya kita merasakan sensasi arung jeram yang memicu adrenalin.
Di sepanjang tepian Sungai Gangsal terdiri dari dusun-dusun kecil yang terpisah-pisah oleh hutan. Bagi yang ada dusun biasanya hutan di sana telah berubah jadi kebun karet. Meski demikian masih terdapat sejumlah hutan di tepi hutan yang lestari. Menurut keterangan staf TNBT, Andi Munandar, masyarakat lokal memiliki kepercayaan terhadap hutan larangan yang lazim mereka sebut hutan fuake. Hutan fuake ini tidak boleh ditebang karena diyakini mereka sebagai tempat bersemayan roh-roh pendahulu mereka. Bila ditebang juga maka malapetaka akan menimpa orang yang melanggarnya.
Dampak positifnya hutan-hutan dengan pepohonan bernilai ekonomi tinggi masih terjaga hingga kini. Di sepanjang Sungai Gangsal khususnya lagi di hutan fuake kita masih bertemu dengan aneka pohon langka seperti kulim, seminai, kerving, kempas, gaharu dan mersawa. Dari tengah sungai kita masih dapat menyaksikan pohon langka lainnya seperti Balau, Meranti, Kayu Batu, Jelutung, Pulai, Resak, Bidara dan Keranji. Tak ketinggalan pohon durian dan petai yang sedang musim.
Aneka fauna di alam liar seperti burung pemakan ikan (king fisher), kupu-kupu bersayap hijau, siamang dan beruk berayun-ayun. Lutung dan simpai sesekali turun dari dahan-dahan pohon ke batu-batu besar di pinggir sungai untuk minum dan bermain-main air. Tak terasa kami terus melaju melewati sejumlah dusun antara lain Dusun Air Buluh, Air Tabu, Nunusan dan Nyasih. Begitu melewati Dusun Tanjung Lintang awan mulai gelap. Gerimis pun berjatuhan.
Sayangnya hanya ada satu terpal yang bisa menutupi barang bawaan dan maksimal dua orang. Selebihnya penumpang perahu tempel diterpa gerimis. Mendekati Dusun Tanjung Lintang (10 km dari Sadan) gerimis tadi berubah jadi hujan lebat disertai kilatan petir dan guruh yang membahana. Arus deras Sungai Gangsal membuat perahu tempel menjadi berat. Tarji dan Tarjo terus berjuang keras mengendalikan sampan yang makin berat melawan arus. Hujan tak berhenti hingga hampir satu jam lebih. Kami semua basah kuyup. Terpal kecil tak berdaya menghadang curah hujan yang bak ditumpahkan dari langit.
Jelang Magrib di tengah hujan deras yang mengguyur akhirnya perahu tempel kami memasuki Dusun Sadan. Tak berapa lama kami merapat ke tepian Dusun Sadan. Sebuah pelantaran dari rakit yang tertambat jadi pijakan setelah keluar dari perahu tempel. Kami sampai di rumah Ketua RT Dusun Sadan, Suwandi, dalam keadaan basah kuyup. Kami lega telah mencapai Sadan. Di luar malam semakin pekat diiringi rintik hujan. Kami tak sabar menunggu besok karena ingin segera bertemu dengan Laskar Pelangi dari Sadan.***


Selengkapnya...
 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com