SAUDARA-SAUDARA KU, setiap orang digerakkan oleh dua hal yakni ekonomi (harta) dan rasa aman. Namun ada orang yang digerakkan bukan oleh dua hal di atas. Siapa mereka? Merekalah orang-orang ikhlas yang digerakkan oleh keyakinan akan perjumpaan dengan Allah SWT suatu hari kelak. caranya? ESQ 165 The Way of Live. Join Us!

09 Februari 2011

Semalam di Kampung Nelayan Rohil

. 09 Februari 2011

Ketika Laut tak lagi Ramah

Bagansiapiapi adalah sebuah kota nelayan yang pada tahun 1980-an pernah tercatat sebagai salah satu daerah penghasil ikan terbesar dan teramai di Indonesia. Selain itu, daerah ini juga pada suatu masa dulu adalah pelabuhan dengan produksi ikan kedua terbanyak di dunia setelah Norwegia. Kini ketika ikan tidak lagi melimpah dan laut tidak lagi ramah keadaan pun berubah. Riau Pos turun langsung ke dua kampung nelayan tersohor yakni Sinaboy dan Panipahan di Rokan Hilir. Seperti apa sekarang?


Laporan HELFIZON ASSYAFEI, Sinaboy dan Panipahan
helfizon@riaupos.com

Berdiri di pelataran semen coran depan rumahnya di kampung nelayan Sinaboy, Zulkifli alias Idang (35) memandang ke arah utara. Tangannya menunjuk sebuah bangunan semi permanen berwarna hijau yang kelihatan dari kejauhan. Bangunan setinggi ruko terbuat dari kayu berdinding seng itu bagian atasnya digunakan untuk usaha sarang burung walet. Sedangkan bagian bawahnya adalah gudang penampunangan ikan. ”Bangunan itu kami sebut Bang Liau,” ujarnya. ”Kalau mau beli ikan asin atau mau melihat sungai dan laut jalan-jalan saja ke sana,” ujarnya memberi informasi.
Bang liau adalah gudang penampungan ikan. Ikan tangkapan nelayan dari laut di bongkar di gudang ini. Proses pemisahan ikan dan udang dilakukan oleh buruh harian warga tempatan. Di sepanjang muara Sungai Rokan bangunan-bangunan seperti gudang dengan material kayu yang disebut dengan bang liau ini cukup banyak. Bangunan ini dilengkapi dengan pelataran semen yang luas untuk menjemur ikan asin.
Sinaboy adalah sebuah kampung nelayan yang terletak di pinggir laut. Berjarak 40 km dari Kota Bagansiapi-api, Kabupaten Rokan Hilir. Untuk mencapai kampung ini kita harus melewati sejumlah kampung lainnya seperti Kepenghuluan Sungai Nyamuk, Kepenghuluan Rajabejamu, Kepenghuluan Sungai Bakau, Kampung Sinaboi kecil dan baru sampai ke Kampung Sinaboi besar. Pemkab Rohil sudah membangun jalan lebar-lebar hingga 20 meter dan tidak kurang dari 10 jembatan penghubung karena banyaknya anak sungai yang harus dilewati.
Jumlah sungai yang berada di wilayah Rohil mencapai 53 buah. Sebanyak 45 sungai berada di wilayah pesisir antara lain Sungai Rokan, Sungai Bangko, Sungai Kubu, Sungai Daun, Sungai Besar, Sungai Sinaboi, Sungai Nyamuk, Sungai Agas, Sungai Bakau, Sungai Pematang Nibung, Sungai Ular dan lainnya. Jalan menuju kampung nelayan Sinaboy belum semuanya selesai. Sebagian ada yang telah diaspal, sebagian masih proses pengerasan dan ada juga yang masih jalan tanah kuning. Bila hujan deras maka tak jarang jalan seperti kubangan kerbau yang tak mudah untuk dilewati.
Soal akses jalan dan transportasi terutama jalan koridor pesisir memang jadi problem utama kampung-kampun di pesisir Rohil. Saat ini akses jalan terus digesa Pemkab. Namun transportasi umum untuk mencapai kampung nelayan itu belum ada sama-sekali. Saat ini masyarakat masih mengandalkan sepeda motor bila ingin bepergian ke Bagansiapiapi. Sedangkan untuk kargo atau barang masyarakat umumnya menggunakan gerobak kayu dua roda yang disambungkan dengan sepeda motor.
Idang bercerita bahwa sejak pendangkalan muara Sungai Rokan hasil penangkapan ikan terus turun setiap tahunnya. ”Sekarang dah payahlah,” ujarnya. Hasil laut yang selama ini jadi mata pencarian sekarang tidak lagi mencukupi. Kata Idang, sebelum tahun 2000 hasil tangkapan mereka masih mencapai 1 ton per harinya. Namun tahun 2000 ke atas terus berkurang hingga hanya ratusan kilogram saja lagi. Terkadang hanya 100 kg saja dapat sekali melaut.
”Beberapakali melaut hasil tak memuaskan juga maka tak jarang kami harus menunggu tiga pekan hingga satu bulan baru dapat lagi melaut,” ujar Idang. Pasalnya, tauke setempat juga punya kalkulasi jika hasil tangkapan tak sesuai target maka biaya operasi lebih besar dari hasil penjualan alias rugi. Para nelayan kampung itu kini banyak yang terpaksa menjadi buruh lepas dan kerja serabutan apa saja jelang turun ke laut. Bahkan bila pekerjaan di darat gajinya lebih besar tak jarang mereka memilih tetap bekerja di darat meski jadwal melaut telah tiba.
Hal tersebut dibenarkan oleh Ketua RT 12 kampung nelayan Sinaboy, Suratman. Menurut putera asli daerah ini, masa kejayaan hasil tangkapan ikan laut memang telah berlalu. ”Tangkapan ikan telah turun sejak tahun 1970-an,” ujarnya. Suratman yang biasanya juga melaut kini juga banting stir kerja apa saja. Kalau ada proyek jalan atau pelataran pemerintah maka mereka menjadi buruh bangunannya. Jika tidak mereka berkebun padi, buruh kebun sawit atau jadi buruh angkut. Suratman mengatakan bahwa selain hasil tangkapan yang semakin menurun juga gaji sekali melaut dirasa tidak lagi dapat memenuhi keperluan hidup mereka.
Rata-rata nelayan tradisional kampung itu melaut dengan modal dan peralatan sepenuhnya dari para tauke-tauke ikan yang memiliki kapal dan juga bang liau. Setelah dipotong biaya bahan bakar kapal pompong untuk melaut maka sekali pulang membawa tangkapan ikan mereka hanya bergaji Rp35.000 saja. Bila berangkat lagi sorenya ke laut dan pulang keesokan harinya juga bergaji Rp35.000. Total sehari semalam melaut Rp70.000.
Selain itu mereka tidak pula dapat melaut sekehendak hatinya karena orderan melaut tergantung pasang naik dan surutnya laut. ”Jadi dengan pendapatan seperti itu dengan tiga anak yang sekolah tentulah jauh dari cukup,” ujar Suratman lagi. Oleh karena itu, lanjutnya, dirinya dan juga warga kampung nelayan tempatnya terpaksa kerja apa saja untuk menyambung hidup.
”Kalau ada proyek pemerintah seperti semenisasi dermaga kampung ini maka kita bekuli lah. Kalau bahan habis atau proyek selesai cari kerja lainnya. Yang penting ada untuk makan dan biaya anak sekolah,” ujar Suratman lagi. Menurut Suratman untunglah Pemkab Rohil punya perhatian besar pada mereka. ”Sejak masa Pak Anas (Bupati, red) akses jalan dibuka, jembatan dibangun, pelantaran kayu dermaga dan lingkungan rumah penduduk dicor semen dan rumah-rumah penduduk miskin diganti bangunan permanen oleh beliau,” ujarnya.
Meski demikian secara umum keadaan ekonomi kampung itu tetap saja belum membaik. Tidak heran Sinaboi menjadi kampung nelayan dalam Kecamatan Sinaboi masuk katagori termiskin kedua setelah Kecamatan Batu Hampar. Kecamatan di Rohil yang masuk katagori miskin yakni Kecamatan Batu Hampar (47,61 persen), Sinaboi (45,07 persen), Pasir Limau Kapas (37,60 persen), Kubu (35,32 persen), Rimba Melintang (31,02 persen), Bangko (29,43 persen). Bahkan untuk makananan pokok pun kini mereka disubsidi beras Bulog oleh Pemkab Rohil sebanyak 15 kg per bulan.
Keadaan ini tentu sangat berbeda dibandingkan masa-masa kejayaan Bagansiapi-api. Hidup masyarakat kampung nelayan kala itu sangat sejahtera. Bagi yang melaut hasil tangkapan melimpah- ruah sehingga gaji melaut tinggi. Ada juga yang bagi hasil dengan para tauke sehingga hasil laut membuat taraf hidup masyarakat kala itu sangat sejahtera.
Kejayaan Bagansiapi-api setidaknya telah dimulai sejak tahun 1886, ketika gelombang orang Tiongkok (sekarang Republik Rakyat Cina) mendatangi daerah ini karena jumlah ikan yang luar biasa banyak. Masa kejayaan Bagansiapiapi dicapai pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, tepatnya tahun 1930. Saat itu, pelabuhan Bagansiapiapi yang menghadap langsung ke Selat Malaka menghasilkan ikan sebanyak 300.000 ton per tahun. Namun kejayaan ini tidak bertahan hingga masa kini, setelah mulai meredupnya hasil perikanan sejak tahun 1970-an.
Seorang tetua setempat bernama Abu Hasan (80) bercerita bahwa pendangkalan muara Sungai Rokan membuat ikan-ikan berimigrasi mencari tempat yang lebih dalam. Saat ini, lanjutnya, ikan masih banyak di sekitar wilayah gugusan kepulauan Aruah yang meliputi Pulau Jemur, Batu Mandi, Tandatangan, Sarang Olang, Batu Adang, Tukong Mas, Tukong Simbang, Labu Bilik dan Pulau Tukong. Menurutnya mengapa tangkapan termasuk kurang karena para tekong dan tauke ikan melansir ikannya di tengah laut. Para pembeli ikan dalam partai besar bertransaksi di tengah laut dengan para penangkap ikan dan juga tauke ikan yang turut turun ke laut.
Cara ini secara bisnis menurutnya menguntungkan karena tidak perlu bongkar muat lagi di bang liau serta pembeli tak harus merapat ke kampung nelayan. Selain itu ikan segar bisa mencapai hingga ke luar negeri dengan cepat dan membuat harga ikan di tangan pedagang pengumpul bisa jadi lebih tinggi. Sedang kerugiannya PAD Rohil jadi kecil dan tidak memberi kontribusi langsung bagi daerah. Selain itu munculnya pencuri ikan dari negara lain yang masuk perairan Indonesia plus pukat harimau dari nelayan provinsi tetangga.
Ratusan nelayan di Bagansiapi-api, ibukota Kabupaten Rokan Hilir ini sempat mengeluhkan adanya nelayan asal Sumatera Utara yang menggunakan pukat harimau. Akibatnya, pendapatan ikan mereka berkurang hingga 50 persen dalam setahun. Nelayan di Bagan mengeluhkan kehadiran nelayan dari Belawan dan Tanjung Balai Asahan, Sumut, yang mencari ikan di perairan Riau dengan menggunakan pukat harimau. Kapal-kapal besar milik nelayan Sumut itu sulit dihalangi nelayan Bagan.
TNI AL Riau juga seolah tidak berdaya membendungnya. Kapa-kapal berkekuatan mesin 600 tenaga kuda itu telah menghancurkan mata pencaharian nelayan di Bagan. Sehari berlayar di laut Bagan, kapal-kapal itu bisa menghasilkan dua sampai empat ton. Bila dihitung dalam sepekan satu kapal pukat harimau bisa mengeruk hasil ikan lebih dari 10 ton. "Berbagai jenis ikan di laut Bagan mereka keruk dan dibawa ke Sumut. Tidak hanya ikan-ikan berkualitas, sampai telur-telur ikan pun bisa mereka dapatkan. Ini yang membuat spesies ikan di Bagan kian hari hilang begitu saja," kata Abu Hasan lagi.

Panipahan
Panipahan adalah sebuah kampung nelayan yang eksotis karena sebagian besar kampungnya terletak di atas laut. Dengan menggunakan speed boat dari pelabuhan Bagansiapiapi menuju Panipahan dapat ditempuh hanya 1,5 jam saja. Meski demikian dari Kota Bagansiapi-api hanya one way ke Panipahan. Artinya hanya satu trip saja yakni berangkat siang sekitar pukul 13.00 Wib. Dengan kata lain kalau kita berangkat dari Bagansiapi-api tidak bisa pulang-pergi satu hari melainkan harus bermalam di sana karena kapal speed boat hanya ada besoknya ke Bagan.
Panipahan merupakan ibu kota Kecamatan Pasir Limau Kapas. Riau Pos sempat berkeliling di kota pelabuhan kecil itu. Arsitekturnya juga sama dengan kota Bagan Siapi-api mewarisi arsitektur Cina masa lalu. Material kayu dengan ukiran khas Cina dan struktur overstek yang bertumpang menunjukkan dominasi langgam arsitektur tersebut sejak awal berdirinya kota pelabuhan kecil itu.
Pada kawasan komersial dijumpai keunikan morfologi bangunan berupa rumah toko (ruko) deret khas daerah pelantar. Bentuknya mirip rumah baba dari China, tapi materialnya didominasi oleh kayu yang merupakan kekhasan arsitektur Melayu. Ruko deret ini berlantai dua, merapat pada jalan. Hal ini tidaklah aneh karena Bagansiapiapi memiliki komunitas Tionghoa yang besar.
Meski demikian wilayah itu termasuk di semenanjung Malaka yang merupakan wilayah dari tiga kerajaan Melayu, yaitu Kerajaan Kubu, Tanah Putih, dan Batu Hampar. Hanya, etnis Cina ini lebih nyaman menetap di Bagan, di muara Sungai Rokan sekarang di pinggir pelabuhan. Di sana mereka membangun permukiman tradisional, termasuk membangun bang liau (gudang penampungan ikan). Mereka juga membuat pelataran untuk menjemur ikan asin. Selain itu, mereka juga membuat dok kapal kayu, yaitu tempat pembuatan kapal yang digunakan untuk menangkap ikan. Kapal kayu terbuat dari jenis kayu leban. Selanjutnya, agak ke daratan mereka membangun Klenteng In Hok Kiong.
Panipahan masih lebih baik dari Sinaboi dalam hal tangkapan ikan. Menurut A prin seorang pemilik bang liau dalam sehari melaut tangkapan mereka masih berkisar 3-4 ton. Meski demikian menurutnya hal ini dibanding tahun 1980-an ke bawah jauh berkurang. ”Dulu itu tidak kurang dari 10-15 ton tangkapan ikan kita. Sekarang makin payahlah,” ujarnya. Menurutnya keadan itulah membuat sebagian besar etnis Tionghoa pergi merantau ke berbagai daerah seperti Medan, Pekanbaru dan Jakarta hingga Bali.
”Mereka pulang biasanya kalau sudah Imlek atau bakar tongkang,” ujar A prin pula. Sementara itu seorang pengusaha lainnya yang diwawancarai Riau Pos bernama A siong mengatakan bahwa perubahan selama era otonomi daerah cuku terasa. Perubahan itu terasa dengan banyaknya pembangunan jalan, rumah ibadah dan juga rumah untuk warga miskin di wilayah mereka. Saat ditanya soal kisah Panipahan masa lalu yang terkenal dengan pulau ’dolar’ dari aktivitas judi dan prostitusi lintas batas apakah saat ini masih berjalan, A siong membantah.
”Hayya tilak ala lagi la. Olang-olang lah tau ma judi tak bikin kaya la,” ujarnya dengan dialek khas Tionghoa. Menurutnya kalau dulu memang judi dan prostitusi mendominasi di kampung kecil pelabuhan itu. Namun, lanjutnya, sejak pertengahan 1990-an kegiatan itu mulai berhenti karena kampung kecil itu terus berkembang hingga jadi wilayah ibu kota kecamatan yang terus dipadati oleh penduduk baik yang asli maupun perantau.
Camat Panipahan, Poniran kepada Riau Pos mengatakan bahwa potensi Panipahan sangat besar karena sejumlah akses jalan tengah dibangun hingga ke Bagansiapiapi. "Ini hanya soal waktu. Kelak Panipahan akan bangkit lebih maju ketika semua infrastruktur yang dibangun Pemkab selesai," ujarnya yakin. Poniran benar. Akses jalan, pelabuhan internasional, bandar udara yang tengah dibangun di Rohil saat ini kelak akan menjadikan Rohil tujuan wisata dan perdagangan setelah Dumai. Ini benar-benar hanya soal waktu.(fiz)

0 komentar:

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com