SAUDARA-SAUDARA KU, setiap orang digerakkan oleh dua hal yakni ekonomi (harta) dan rasa aman. Namun ada orang yang digerakkan bukan oleh dua hal di atas. Siapa mereka? Merekalah orang-orang ikhlas yang digerakkan oleh keyakinan akan perjumpaan dengan Allah SWT suatu hari kelak. caranya? ESQ 165 The Way of Live. Join Us!

30 Maret 2011

Laskar Pelangi dari Sadan

. 30 Maret 2011
1 komentar

Menyusuri Pedalaman Hutan Bukit Tigapuluh



Pernahkan terbayangkan, anak umur tujuh tahun menempuh perjalanan menuju sekolahnya dengan tantangan alam yang luar biasa? Sepuluh orang anak Melayu Belitong pernah mengalaminya tiga puluh tahun lalu. Mereka terkenal lewat novel Laskar Pelangi. Di Riau, tepatnya di pedalaman hutan Bukit Tigapuluh hal serupa terjadi. Bukan tigapuluh tahun lalu tetapi hingga hari ini.



Laporan HELFIZON ASSYAFEI, Rantau Langsat
helfizon@riaupos.com

MALAM baru saja menanggalkan jubah hitamnya. Fajar menyingsing menimbulkan safak merah dan kuning di ufuk Timur. Suatu pagi yang asri dan segar di pedalaman hutan Bukit Tigapuluh, Rabu (16/3). Embun pagi masih menetes di dedaunan. Angin bertiup pelan membawa hawa dingin yang menerpa kulit. Jejak hujan tertinggal pada ceruk-ceruk jalan setapak yang tergenang air. Suara satwa hutan terdengar saling bersahutan.
Ketika itu kami (tim liputan khusus Riau Pos, red) sedang berada di pedalaman hutan. Tepatnya di kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Kawasan ini terletak pada ketinggian 60 - 843 meter di atas permukaan laut dengan puncak tertinggi terdapat pada Bukit Supin. Daerah perbukitan ini terpisah dengan rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang memanjang dari Selatan ke Utara Pulau Sumatera. Secara administratif kawasan hutan Bukit Tigapuluh ini terletak di dua provinsi yaitu Provinsi Riau pada Kabupaten Indragiri Hulu (81. 223 ha) dan Indragiri Hilir (30.000 ha) serta Provinsi Jambi pada Kabupaten Tanjung Jabung Barat (10.000 ha) dan Tebo ( 23.000 ha).
Jalan setapak di dalam hutan itu tidak rata, basah, licin dan dipenuhi akar pepohonan yang bermunculan di permukaan tanah. Bunyi ranting patah dipijak orang sesekali terdengar dikesunyian hutan pagi itu. Bunyi itu berasal dari kaki-kaki kecil tak beralas yang melangkah selincah kijang hutan. Berjalan seperti orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh dalam cerita silat. Kami ikut rombongan kecil yang sedang melintas hutan. Rombongan kecil itu terdiri anak-anak berseragam sekolah yang sedang berjalan paling depan.
Di belakang mereka ada Suwandi penduduk lokal, Andi Moenandar seorang staf dari Kantor Balai TNBT dan Riau Pos mengikuti. Kami ingin tahu rute yang ditempuh anak-anak di sana untuk mencapai sebuah sekolah marjinal di Dusun Sadan, sebuah dusun kecil di tepi Sungai Gangsal di kaki Bukit Tigapuluh. Rute yang dilewati cukup menantang. Jalan setapak dalam hutan itu tidak seperti jalan setapak umumnya. Tidak mudah dikenali karena sebagian besar nyaris tidak kelihatan ditutupi rimbun semak belukar dan akar yang menjuntai dari pepohonan. Meski demikian anak-anak itu tahu caranya. Hanya dengan melihat semak yang rebah lebih rendah dari yang lain mereka tahu itu kode jalan setapak dalam hutan.
Mereka terus berjalan. Sementara kami tercecer di belakang dengan badan yang basah oleh keringat. Medan yang dilalui memang tidak mudah bagi yang tidak biasa. Sesekali harus melintasi lereng bukit dengan kelandaian 45 derajat dengan kondisi licin. Apalagi malam sebelumnya turun hujan lebat. Lereng bertanah liat kuning itu makin licin. Ketiga siswa SD yakni Yuna (7), Anggi (7) dan Kurnia (8) itu sembari memegang sepatu di tangan, enteng saja melewati lereng tersebut. Sedangkan kami harus berpegangan pada akar pepohonan yang keluar dari tanah. Upaya ini untuk menahan tubuh agar tak merosot ke bawah karena pijakan di tanah liat membuat kaki mudah tergelincir.
Nafas kami tersengal-sengal mengimbangi kecepatan kaki-kaki kecil tersebut. Sejurus kemudian sebuah tantangan lain menunggu: melintasi anak sungai lewat batu-batu pegunungan yang menonjol keluar perut sungai. Batu tersebut berlumut dan licin karena dilalui aliran air terjun bertingkat hanya satu meter di belakang batu-batu itu. Air terjun bertingkat itu bernama air terjun Tembulun Kuning. Dinamakan seperti itu menurut penduduk lokal setempat, Suwandi, karena dulunya wilayah itu ada dusun yang didirikan oleh tetua kampung setempat bernama Datuk Tembulun Kuning.
Sekarang dusun itu tidak ada lagi. Hanya tinggal nama. Sedangkan wilayah itu telah jadi hutan dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi.
Melintasi batu licin karena lumut dan derasnya air cukup memicu adrenalin. Sedikit saja silap dan tergelincir batu cadas lainnya menunggu di bawah. Sebuah tantangan yang cukup berbahaya melintasinya. Lagi-lagi kami melihat ketiga bocah itu tak menemui kesulitan berarti melewati anak sungai berbatu yang dihiasi air terjun tersebut. Sementara kami merangkak memegangi ujung batu yang pecah agar tak tergelincir, anak-anak itu telah sampai di seberang. Mereka tak dapat menahan tawa melihat cara kami melintasi anak sungai berbatu tersebut.
Perjalanan dilanjutkan dan kembali masuk hutan. Sejenak suasana agak gelap karena pohon-pohon tinggi saling bertautan menghalangi sinar mentari mencapai tanah. Kami berhenti sejenak di sebuah gundukan tanah yang diberi batu di bagian depannya yang menghadap ke Utara. ”Ini makam Datuk Tembulun Kuning,” ujar Suwandi menjelaskan. Di sekitar pusaranya masih terdapat dua batang bambu yang terpacak bekas tempat lampu colok yang masih menyisakan abu di sumbunya. ”Orang-orang yang pernah tinggal di kampung ini masih kerap kemari ziarah,” ujar Suwandi lagi.
Kaki-kaki kecil tanpa alas itu kembali melangkah. Sejurus kemudian kami kembali menemukan anak sungai yang jernih dan dangkal. Dasar sungai itu penuh dengan pecahan kecil-kecil bebatuan pegunungan. Airnya yang dingin dan segar langsung menyergap kaki saat masuk ke dalamnya. Hanya selutut orang dewasa. Setelah itu perjalanan napak tilas itu berlanjut. Setelah sebuah turunan tajam kami berhadapan dengan rawa yang terkesan agak liar. Namun tidak bagi ketiga bocah itu.
Sembari berlari kecil rawa berlumpur itu sukses mereka lalui. Akan halnya dengan kami yang mengikuti tak semudah itu. Ketika kaki terbenam selutut ditarik untuk melangkah, alas kaki berupa sandal jepit langsung tertinggal di lumpur. Tak ada waktu mencari sendal itu lagi karena ketiga bocah kecil itu telah sampai di bibir Sungai Gangsal. Hujan yang turun semalam membuat sungai banjir dan arus deras. Sangat berisiko untuk direnangi menyeberang. Untunglah ada sampan.
Di dalam sampan barulah fotografer Riau Pos menyadari sejumlah pacet (lintah, red) telah menempel di kaki hingga ke pahanya. Satunya lagi menempel di pergelangan tangan kanan yang saat ditarik menimbulkan lubang kecil yang mengalirkan darah cukup banyak. Sejurus kemudian sampan kami merapat ke tepian Dusun Sadan. Di sana kami bertemu Anwardi (50). Anwardi adalah warga Dusun Nunusan sekitar 13 km di hilir Dusun Sadan. Ia ada keperluan ke Sadan.
Ketika mendengar Riau Pos melakukan napak tilas rute anak sekolah dari Tembulun Kuning menuju Sadan, ia tersenyum. ”Itu baru jarak sepelemparan batu. Belum lagi tu,” ujar nya terkekeh. Dari penuturan Anwardi, rute yang dinapaktilasi Riau Pos itu belum apa-apa diban ding jarak yang harus ditempuh anak-aak dari Dusun Tanjung Lintang tak jauh dari Dusun Nunusan tempatnya tinggal.
Dengan jarak tempuh sekitar 10 km lewat Sungai Gangsal yang penuh liku jelas tidak memungkinkan bagi anak-anak di Tanjung Lintang sampai ke sekolah pada waktunya. Maka sebuah pilihan penuh tantangan dilalui anak-anak itu. Mereka harus menempuh jalan darat memotong dengan keluar masuk hutan lebat dan naik turun bukit.
Lebih dahsyat lagi mereka tidak kurang dari lima kali menyeberangi Batang Gangsal yang lebar dan berarus deras tersebut. Tujuannya memotong jalan agar le bih dekat dari pada bersampan mengikuti alur sungai yang penuh liku.
Penuturan Anwardi dibenarkan oleh staf TNBT, Andi Moenandar. Dalam tugas rutinnya turun ke hutan pedalaman Bukit Tigapuluh menggunakan perahu tempel, ia kerap melihat rombongan anak-anak umur tujuh hingga dua belas tahun tahun berenang melintasi Batang Gangsal untuk mencari jalan pintas menuju Sadan. ”Sambil berenang dengan satu tangan, tangan lainnya mengangkat tinggi-tinggi pakaian sekolah mereka agar tidak basah,” ujar Andi. Artinya jika dihitung pulang pergi tidak kurang dari 10 kali berenang menyeberang ditambah keluar masuk hutan.
Dari penuturan Anwardi tergambar semangat besar anak-anak pedalaman tersebut. ”Apapun cuacanya mereka tak mau dilarang dan bersikeras ingin sekolah,” ujar Anwardi. Kecuali bila hujan lebat dan arus sungai makin ganas maka anak-anak kelas I tidak akan dilepas orangtuanya berangkat ke Sadan. Sedangkan kelas III ke atas sulit mela¬rangnya. Terkadang alasan ke kebun, lanjutnya, ternyata diam-diam telah ikut konvoi teman sebaya melintas hutan dan sungai menuju Sadan untuk belajar.
Padahal, lanjutnya, pada musim hujan lebat, medan menuju Sadan makin ganas. Hujan lebat bisa me ngubah jalan setapak jadi sungai yang bisa menggenangi daratan hingga setinggi dada orang dewasa. Belum lagi guruh dan halilintar yang dapat membuat pohon kelapa dan pohon hutan lainnya bergelimpangan terbelah dua menutup jalan-jalan setapak yang ada.
”Tolong sampaikan suara kami ini pada bapak-bapak pejabat di kota sana, kalau bisa tolonglah sekolah itu juga dibuat di Dusun Nunusan agar anak-anak tak terlalu jauh berjalan hingga ke Dusun Sadan untuk sekolah,” ujarnya. Ia juga mengundang Riau Pos nanti pada saat pulang ke hilir agar singgah sebentar di Dusun Nunusan. ”Lihatlah kampung kami cukup ramai. Ada sekitar 35 kepala keluarga. Jadi sudah layak memiliki sekolah sendiri,” ujarnya berharap.

Sanggar Belajar Sadan
Menginjakkan kaki di halaman sanggar belajar Sadan mata kami langsung disambut pemandangan dua rumah papan dicat kapur putih kontras dengan pepohonan hutan hijau ranau di belakangnya. Pekarangan sekolah yang cukup luas itu serasi dengan rumput halus yang tumbuh di depannya bak permadani sutera hijau yang indah. Di depan satu rumah papan itu berdiri sebuah plang nama berwarna dasar hijau dengan deretan huruf berwarna kuning. Di sana tertulis: Sanggar Belajar Sadan. Juga tertulis di atasnya Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatera (PKHS).
Di teras depan kelas berlantai tanah itu sebatang tiang bendera tersandar membentuk sudut landai 45 derajat. Bendera Merah-Putihnya belum dilepas dan bersama tiang atasnya terselip di atap pojok kanan teras. Sedangkan tiangnya melintang hingga ke depan pintu kelas yang terkunci rapat. Tidak ada aktivitas apa-apa. Sekolah itu hanya memiliki satu kelas tak sampai seluas sebuah lapangan bulutangkis. Berdinding papan dengan cat kapur putih tanpa jendela. Hanya ruang ventilasi udara di bagian atas kelas setinggi 0,5 meter yang dipasangi kayu biasa. Kursi dan meja yang terbuat dari ranting kayu hutan tertancap ke lantai tanah ruang kelas itu. Kami dikerubuti agas (nyamuk hutan, red) begitu melangkah ke dalam kelas. Tiap sebentar harus memukuli kaki dan tangan menghalau serangan agas itu.
Di dinding kelas depan ada sebuah papan tulis hitam dengan sejumlah tulisan kapur soal angka-angka pertambahan dan pengurangan yang belum dihapus. Di atasnya lagi terpampang gambar Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Di sebelahnya lagi Wakil Presiden Boediono yang gambarnya melengkung ke depan akibat tak dibingkai.
Mata Yana tampak berbinar. Juga Anggi dan Kurnia. Mereka tak dapat menyembuyikan ke gembiraan mereka saat masuk ke kelas itu. Begitu juga kehebohan sejumlah teman-teman mereka di Dusun Sadan yang ramai-ramai datang ke sanggar. Pasalnya sudah tiga bulan tidak ada aktivitas di sanggar itu. Dan mereka tak tahu kenapa.
Ompol (45) seorang warga setempat yang hendak ke anak sungai di belakang sekolah berhenti melihat ada rombongan di depan sanggar itu. Ia mendekat. Dari penuturannya kepada Riau Pos ia sedih setiap melihat sanggar itu. “Anak-anak saya selalu ber tanya mengapa sekolah tidak buka yah?” ujarnya. Ompol berharap agar sanggar itu secepatnya kembali aktif. Kegundahan serupa juga dialami oleh Suwandi Ketua RT Sadan. “Saya risau juga karena sebagian anak warga sudah ada yang ke Lemang untuk bisa sekolah di sana,” ujarnya.
Sedangkan mereka masih menunggu kemungkinan sanggar belajar ini diaktifkan lagi karena ke Dusun Lemang jelas perlu biaya. Sebagian besar siswa sanggar itu tak memakai alas kaki dan juga tak memiliki seragam. Hanya tiga bocah yang kami ikuti tadi yang punya seragam bekas hasil sumbangan dari PKHS. Kelas sederhana itu dipakai bergantian. Pagi untuk kelas satu, dua dan tiga. Jelang siang dipakai untuk kelas empat, lima dan enam.
Sekolah itu tidak pernah dikunjungi penjual kain, penilik sekolah apalagi anggota dewan. Satu-sa tunya yang rajin berkunjung a dalah seorang pria sederhana bernama Lancar. Ia kepala sekolah merangkap jadi guru di sanggar belajar itu. Lancar sejatinya bukan guru. Ia staf TNBT rekrutan lokal yang dikontrak PKHS mengajar di Sadan. Meski nilai kontrak tidak seberapa, Lancar terpanggil jiwanya. Apalagi tidak banyak yang mau dan mampu bertahan di dalam hutan untuk mengajar anak-anak itu. Masuk ke sana berarti komunikasi terputus dari dunia luar. Tidak ada sinyal telepon genggam apalagi listrik.
”Sekali masuk ke dalam saya bertugas hingga 15 hari. Sisanya teman saya lainnya,” ujar Lancar yang sempat bertemu Riau Pos sehari sebelum kami turun ke Dusun Sadan. “Pernah ada keluarga yang meninggal saya tak bisa dihubu ngi dan baru tahun 15 hari kemudian setelah keluar dari Sadan,” kenangnya. Untuk mengetahui kemampuan para murid, lanjutnya, se tiap enam bulan dilakukan evaluasi (ujian semester). Beberapa mata pelajaran yang diajarkan dan diujikan yakni Bahasa Indonesia, Matematika, Sains (IPA), Ilmu Pengatahuan Sosial (IPS), Seni dan Keterampilan. Sampai akhir tahun 2008, jumlah murid yang telah memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung dengan baik dan lancar berjumlah 27 murid.
Untuk memperkaya materi yang diberikan, Lancar menjalin kerja sama dengan SDN 026. Ia kerap memberikan soal-soal yang diujikan dalam berbagai ujian resmi dan ternyata mereka cukup mampu untuk memahami dan mengerjakan soal-soal itu. ”Hasilnya tujuh orang di antara mereka yang kelas enam dipersiapkan untuk mengikuti ujian nasional tahun ini,” ujarnya lagi. Lalu mengapa sudah tiga bulan vakum?
Kordinator PKHS Bukit Tigapuluh, Santoso saat dihubungi Riau Pos mengatakan bahwa kevakuman itu disebabkan masalah klasik yakni dana. Dana funding PKHS dari Inggris yang biasanya diterima per tiga bulan, macet di akhir Desember 2010. Dampaknya operasional PKHS untuk Januari-Maret 2011 juga ikut macet. ”Anggaran tidak turun se hingga kita tidak bisa menurun kan guru ke Sadan,” ujar Santoso.
Untuk bisa sampai ke Sadan tidak ada transportasi reguler. Oleh karena itu mereka melakukan kontrak per tiga bulan dengan warga lokal pemilik perahu mesin boat tempel. Satu kali berangkat ke dalam menuju Sadan sewa pe rahu Rp750.000. Pulang-pergi Rp1.500.00. Belum lagi biaya makan yang dianggarkan Rp30.000 per hari.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa PKHS malah tertarik membangun sekolah sedangkan bidangnya pelestarian harimau Sumatera? Santoso menjelaskan awalnya tidak terpikir bangun sekolah. Se telah sebuah kasus penangkapan harimau oleh pemburu dengan memperalat masyarakat lokal PKHS sadar bahwa pelestarian harimau tidak bisa secara parsial. “Kami ingin sejak dini mereka mendapatkan pendidikan agar tak mudah diperalat kelak oleh orang-orang yang punya itikad buruk,” ujarnya. Lewat mengajari anak-anak, tambahnya, pesan pelestarian lingkungan juga sampai ke orangtua mereka.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa program pendidikan bagi anak–anak pedalaman TNBT pertama kali didirikan dan dilaksa nakan oleh PKHS tahun 2003. Lokasi kegiatan pendidikan berada di dusun Datai. PKHS mendirikan dan mengelola sebuah tempat belajar yang sangat sederhana dan diberi nama Sanggar Belajar Datai. Sanggar belajar ini sempat jalan dua tahun dan berakhir pada Desember 2005 karena tidak ada biaya.
Pada akhir operasional sanggar belajar ini, jumlah murid yang pernah belajar adalah 82 orang. Selama kurun waktu 2 tahun, sebanyak 33 orang murid telah memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau sekitar 40 persen dari keseluruhan murid. Kemudian pada pertengahan 2007, sanggar ini diteruskan pengelolaannya oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Indragiri Hulu lewat UPTD Pendidikan Batang Gangsal.
Pada awal 2007 PKHS mengembangkan sanggar belajar berikutnya lebih ke hilir. Lalu dipilihlah Dusun Sadan untuk merintis sekolah marjinal berikutnya.
Dusun Sadan dipilih karena secara geografis berada di tengah-tengah. Terdapat tujuh dusun dalam wilayah Desa Rantau Langsat di sepanjang Sungai Gangsal dari hulu ke hilir, Dusun Datai, Suit, Air Bomban, Sadan, Tanjung Lintang, Nunusan dan Lemang, yang ditempati oleh masyarakat Talang Mamak dan Melayu Tua. Masyarakat tersebut tinggal tersebar di 15 pemukiman, di mana pemukiman Datai Tua, Suit, Air Bomban, Nunusan dan Lemang sebagai pusat dusun.
Lebih lanjut Santoso menjelaskan bahwa sanggar belajar itu resmi dibuka PKHS Pada tanggal 15 Mei 2007. Pada tahap awal terdaftar 56 murid. Mereka berasal dari Dusun Suwit (39,1 persen), Sadan (30,7 persen), Air Bomban (21,3 persen) dan Tanjung Lintang (8,9 persen). Selanjutnya jumlah murid mengalami fluktuasi dengan ada nya murid yang keluar dan yang masuk menjadi murid baru. Jumlah murid pernah mencapai 72 orang pada Desember 2007.
Alasan murid keluar atau berhenti adalah karena menikah atau ikut orang tua pindah. Di samping itu sering terjadi murid yang telah keluar atau lama berhenti tetapi kemudian masuk dan belajar kembali. Biasanya hal ini karena mereka harus membantu orang tua bekerja terutama pada musim membuka ladang dan menanam padi serta waktu musim panen

Mencapai Sadan
Sadan hanya sebuah dusun kecil di bawah kaki bukit tigapuluh. Terletak di bibir Batang Gangsal dan dikelilingi hutan. Ia adalah bagian dari Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gangsal, Kabupaten Indragiri Hulu Riau. Dari Kota Pekanbaru kita harus menuju Pematang Reba-Rengat melewati Jalan Lintas Timur berjarak tempuh 196 Km. Dari Pematang Reba menuju pintu masuk melalui simpang Siberida jarak tempuh mencapai Rp50 km.
Untuk mencapai akses Sungai Gangsal di Dusun Lemang jarak tempuh dari simpang Siberida mencapai 13 Km ke dalam melewati beberapa dusun yakni Dusun Usul, Siambul, Siamang dan Lemang. Menjelang Dusun Siambul yang ada hanya jalan tanah dengan pasir dan batu (sirtu). Mobil kami hanya bisa sampai di Dusun Siambul karena rute berikutnya jalan tanah liat yang licin dan penuh lubang sebesar kubangan kerbau.
Mulai dari Siambul kami harus menggunakan ojek dengan tarif Rp25.000 per orang. Melewati deretan kebun karet dan dusun-dusun kecil. Makin ke dalam kondisi jalan makin menantang. Jalan berlubang, licin dan penuh tanjakan curam dan turunan yang tajam. Gas di putar habis oleh pengendara ojek membuat mesin meraung-raung dan tubuh terguncang-guncang dengan jantung berdegup. Di beberapa tempat kami terpaksa turun karena tanjakan penuh lubang besar berlumpur.
Kami sempat melihat sebuah mobil pick-up terjebak dalam kubangan lumpur di tengah jalan dan sedang didorong ramai-ramai oleh penumpangnya. ”Mereka mau mengambil/membeli karet ke dalam bang,” ujar Astar sang pengojek. Untuk mencapai Dusun Lemang kami melewati dua dusun lagi masing-masing Rantau Langsat dan Siamang. Setelah mencapai Dusun Lemang barulah kami melihat satu SDN 004. Ojek kami terus melaju. Pada pukul 13.30 WIB akhirnya kami mencapai Dusun Lemang. Personil TNBT, Andi Munandar kemudian menghubungi pemilik perahu tempel. Mereka bersedia mengantar ke dalam dengan biaya sewa perahu tempel Rp800.000. Tak bisa dinego lagi dan tak ada pilihan.
Kami bergerak dari Dusun Siamang ke hulu melawan arus menggunakan perahu bermesin tempel merk Yamaha berkekuatan 15 PK. Panas menyengat kulit saat sampan tempel kami bergerak meninggalkan Dusun Siamang pukul 14.30 WIB. Namun angin dingin yang menerpa kulit jadi penawar sengatan mentari. Baru beberapa menit perahu tempel berjalan, keindahan Sungai Gangsal mulai terpampang di depan mata. Alur sungai yang berkelok-kelok dengan kiri kanan perbukitan yang hijau ranau menampilkan sebuah landscap alam yang memukau. Tak jarang kami menemui pohon-pohon besar saling bertautan dari masing-masing pinggir sungai dan kami lewat di bawahnya. Sinar mentari yang terik menerpa sungai dan memantul ke pepohonan rimbun yang akarnya menjuntai ke bawah menimbulkan siluet jingga yang eksotis.
Tipikal Sungai Gangsal adalah khas sungai pegunungan. Meski lebar tetapi tidak semuanya dalam. Sebentar dalam sebentar dangkal. Tarji si juru mudi dan Tarjo pengendali depan dengan menggunakan galah harus berjibaku mengendalikan perahu tempelnya mencari tempat yang dalam agar kipas mesin tidak menyangkut atau membentur bebatuan yang banyak di dasar sungai. Tak jarang batu-batu besar mencuat di permukaan sungai seperti dam raksasa yang harus dilewati. Melewatinya kita merasakan sensasi arung jeram yang memicu adrenalin.
Di sepanjang tepian Sungai Gangsal terdiri dari dusun-dusun kecil yang terpisah-pisah oleh hutan. Bagi yang ada dusun biasanya hutan di sana telah berubah jadi kebun karet. Meski demikian masih terdapat sejumlah hutan di tepi hutan yang lestari. Menurut keterangan staf TNBT, Andi Munandar, masyarakat lokal memiliki kepercayaan terhadap hutan larangan yang lazim mereka sebut hutan fuake. Hutan fuake ini tidak boleh ditebang karena diyakini mereka sebagai tempat bersemayan roh-roh pendahulu mereka. Bila ditebang juga maka malapetaka akan menimpa orang yang melanggarnya.
Dampak positifnya hutan-hutan dengan pepohonan bernilai ekonomi tinggi masih terjaga hingga kini. Di sepanjang Sungai Gangsal khususnya lagi di hutan fuake kita masih bertemu dengan aneka pohon langka seperti kulim, seminai, kerving, kempas, gaharu dan mersawa. Dari tengah sungai kita masih dapat menyaksikan pohon langka lainnya seperti Balau, Meranti, Kayu Batu, Jelutung, Pulai, Resak, Bidara dan Keranji. Tak ketinggalan pohon durian dan petai yang sedang musim.
Aneka fauna di alam liar seperti burung pemakan ikan (king fisher), kupu-kupu bersayap hijau, siamang dan beruk berayun-ayun. Lutung dan simpai sesekali turun dari dahan-dahan pohon ke batu-batu besar di pinggir sungai untuk minum dan bermain-main air. Tak terasa kami terus melaju melewati sejumlah dusun antara lain Dusun Air Buluh, Air Tabu, Nunusan dan Nyasih. Begitu melewati Dusun Tanjung Lintang awan mulai gelap. Gerimis pun berjatuhan.
Sayangnya hanya ada satu terpal yang bisa menutupi barang bawaan dan maksimal dua orang. Selebihnya penumpang perahu tempel diterpa gerimis. Mendekati Dusun Tanjung Lintang (10 km dari Sadan) gerimis tadi berubah jadi hujan lebat disertai kilatan petir dan guruh yang membahana. Arus deras Sungai Gangsal membuat perahu tempel menjadi berat. Tarji dan Tarjo terus berjuang keras mengendalikan sampan yang makin berat melawan arus. Hujan tak berhenti hingga hampir satu jam lebih. Kami semua basah kuyup. Terpal kecil tak berdaya menghadang curah hujan yang bak ditumpahkan dari langit.
Jelang Magrib di tengah hujan deras yang mengguyur akhirnya perahu tempel kami memasuki Dusun Sadan. Tak berapa lama kami merapat ke tepian Dusun Sadan. Sebuah pelantaran dari rakit yang tertambat jadi pijakan setelah keluar dari perahu tempel. Kami sampai di rumah Ketua RT Dusun Sadan, Suwandi, dalam keadaan basah kuyup. Kami lega telah mencapai Sadan. Di luar malam semakin pekat diiringi rintik hujan. Kami tak sabar menunggu besok karena ingin segera bertemu dengan Laskar Pelangi dari Sadan.***


Selengkapnya...

02 Maret 2011

Liputan Perjalanan ke Pulau Jemur ROHIL-Riau

. 02 Maret 2011
0 komentar

Ancaman Perbatasan dan Potensi Konflik Antar Nelayan di Perairan Pulau Jemur
Minim Transportasi, Orang-orangan Sawah dan Eksotisme



Terik matahari pagi cukup menyilaukan mata dan biru langit menandakan cuaca sangat bersahabat. Air Sungai Rokan yang bertemu dengan air laut di pelabuhan lama Bagan Siapi-api juga kelihatan tenang. Pagi pekan lalu, tim Lipsus Riau Pos mendapat kesempatan untuk menjejakkan kaki di Kepulauan Arwah, terutama di Pulau Jemur yang belum lama ini di persoalkan karena di klaim sebagai salah satu tujuan wisata negara Malaysia.


Laporan M HAPIZ dan MUNAZLEN N, Bagan Siapi-api.
redaksi@riaupos.com

SEJURUS kemudian, pemuda yang berkeinginan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi tapi tidak memiliki biaya dan bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) di Tenggiri Expres, Anas (20), melepaskan tali kapal setelah rombongan menyatakan siap untuk berangkat. Rombongan hanya berenam, ditambah tiga orang awak kapal mengisi Tenggiri Express yang berkapasitas sekitar 40 orang.
Sebelum seluruh tali temali kapal dilepaskan, kapten kapal tampak berdiskusi serius dengan ABK lain yang sepertinya cukup memahami cuaca perairan laut. Mereka memandang ke arah langit, terutama arah tujuan ke kepulauan Arwah. Hanya beberapa menit berbincang, kaptenpun mulai menghidupkan mesin motor speedboat dan kapalpun di putar 180 derajat menuju tujuan, meninggalkan kota Bagan Siapi-api.
Selesai melaksanakan tugasnya melepaskan tali kapal, agaknya Anas (20) lebih banyak santai. Ia pun melontarkan kalimat pendek tapi cukup membuat penasaran. ’’Bisa jadi cuaca tidak bagus nanti,’’ ujar putra kelahiran Penipahan ini, tapi tetap dengan melempar senyum dan tidak kelihatan cemas sama sekali. Ia duduk diatas kapal tanpa cemas sama sekali dengan kondisi laju kapal diperkirakan 60 Km/jam.
’’Lihat saja nanti. Kalau cuaca bagus saat melewati pulau-pulau menuju laut lepas, berarti aman. Tapi kalau cuaca tidak bagus sebelum ke laut lepas, bisa jadi merapat ke darat dulu. Karena banyak pancang-pancang nelayan dan batu karang yang kalau cuaca tidak bagus bisa menghempaskan badan kapal. Tapi saya rasa aman-aman saja,’’ ujarnya tenang dan melempar senyum.
Pulau Alang yang cukup besar telah dilewati, begitu pula beberapa pulau mengitari lainnya. Kemudian nampak di kejauhan beberapa batu karang kecil yang disebut Pulau Tukongmas. Satu jam lebih lima belas menit, kapal mulai memasuki laut lepas. Rupanya benar, langit biru tiba-tiba berubah menjadi hitam kelam. Kapten pun memerintahkan menutup semua jendela kapal dan pintu masuk. Perjalanan diiringi dengan hujan lebat, lajut speedboat diperlambat, itupun masih terhembas-hempas akibat gelombang laut yang beriak.
’’Tak apo do. Dah di laut lepas, tak masalah lagi. Tu pulaunyo,’’ ujar Anas dan cukup membuat hati tenang, apalagi gugusan kepulauan Arwah satu persatu nampak dari kejauhan. Waktu tempuh perjalanan menggunakan speedboat rupanya tidak terlalu lama, yaitu sekitar satu jam empat puluh lima menit. Tapi jika menggunakan perahu kapal motor kecil atau disebut pompong, perjalanan bisa mencapai 5-6 jam, tergantung cuaca laut. Kerap orang yang ingin menuju ke Pulau Jemur menggunakan kapal pompong karena biaya carter relatif kecil sekitar Rp2 juta, dibandingkan speedboat yang bisa mencapai Rp7-8 juta.
Gugusan Pulau Arwah terdiri dari pulau Tukongpe rak, Sarang Adang, Tukong mas, Tokong Simbang, dan Labuhanbilik, Pulau Batu Berlayar, Pulau Jemur, Pulau Batu Mandi dan Pulau Batu Adang. Kawasan ini masuk pemerintahan Kepenghuluan Pulau Jemur di wilayah desa Teluk Pulai, Kecamatan Pasir Limau Kapas, Kabupaten Rohil, Riau. Pulau Labuhanbilik dan Pulau Jemur yang ukurannya cukup besar sehingga bisa didirikan bangunan permanen.
Kedatangan kami menggunakan kapal Speedboat rupanya menarik perhatian kapal-kapal nelayan yang bersandar di Pulau Labuhanbilik, salah satu gugusan kepulauan Arwah. Karakter fisik pulau ini cukup unik, karena terdapat bilik-bilik laut dikelilingi batu pulau sehingga airnya tenang, walau disaat cuaca sedang tidak bersahabat. Nelayan biasanya bersandar, memperbaiki jaring yang rusak, memperbaiki mesin, mensortir hasil tangkapan atau langsung transaksi menjual ikan sebab ada kapal pengumpul yang khusus bersandar membeli hasil tangkapan nelayan.
Air laut surut dan speedboat tidak bisa merapat ke tepi pulau. Mau tidak mau, kapal dirapatkan dengan deretan kapal nelayan yang melabuhkan jangkar di laut yang agak dalam. Kapten kapal menyatakan menunggu air laut sedikit naik, barulah merapat ke daratan. Itu artinya, menunggu hingga satu setengah jam. Inilah waktu kami berbincang dengan nelayan yang tengah asik dengan beragam aktivitas.
’’Tidak banyak. Palingan baru terisi sekitar 2 ton. Kalau sekarang bisa dibawa 3 ton saja sudah baiklah itu. Kalau ditanya dulu, kapal ini bisa bawa ikan sampai 12 ton. Sekarang ikan tidak sebanyak dulu. Saya sudah melaut selama 30 tahun dan di sinilah (Kepulauan Arwah) yang masih lumayan ikannya,’’ ujar Parmin Sembiring (69), kapten kapal GT 29 No 20227pp yang berasal dari Labuhanbatu, Sumatera Utara yang awalnya ragu menyebut marganya karena nama awal kental dengan panggilan nama Jawa.
Kapal Sembiring tergolong paling besar dibandingkan kapal nelayan lain yang labuh jangkar. Panjang kapal sekitar 30-40 meter dengan lebar tengah sekitar 7 meter, kapalnya berisikan peti-peti es berisikan ikan dibeli dari nelayan. Ikan yang dikumpulkanpun beragam. Yang cukup mahal, bawal, cumi-cumi, pari, ada juga ikan hiu berukuran kecil. Kapal parmin khusus membawa hasil pembelian ikan dari nelayan dan terdapat kapal yang berukuran agak kecil yang tugasnya menimbang dan membayar hasil pembelian ikan dari nelayan.
Apakah ia mengetahui adannya kapal asal Malaysia yang mencari ikan di perairan Indonesia? Parmin mengaku tahun 1990-an hal itu sering terjadi. Tapi sekarang ini, sejak alat penangkapan ikan sudah modern, tidak pernah lagi. Kalaupun ada, sebutnya, berkemungkinan di perairan laut Selat Malaka dan hanya kapal besar yang berani. Untuk ukuran nelayan Indonesia, sebut Parmin, hanya mencari ikan di sekitar kepulauan Arwah atau di laut yang agak tenang. Namun, ada juga kemungkinan yang jual ikan di perbatasan laut Indonesia-Malaysia.
’’Mana berani kita ke Selat Malaka sana. Nanti bisa-bisa digulingkan gelombang. Kalau di sana itu kapalnya udah besar-besar. Dulu sekali pernah kami coba ke tengah laut sana. Tapi lebih enak dan aman di tempat kita ini. Kapal Malaysia juga tidak ada lagi ketempat kita ini. Mana berani mereka kesini,’’ kata kakek empat cucu ini yang mengaku sulit hidup didarat karena terbiasa hidup di laut.
Nelayan asal Penipahan, Kabupaten Bagan Siapi Api, menggunakan kapal pompong kecil, Aban (35), hari itu tangkapannya tidak begitu banyak. Dengan kondisi basah kuyup, ia menyortir ikan yang diletakkan dibawah lambung kapal untuk dijual sebagian kepada pengumpul. ’’Ndak banyak. Ini Cuma 30 ribu,’’ katanya memperlihatkan hasil menjual ikan hiu kecil berukuran panjang sekitar 30 Cm yang didapatnya hari itu.
Karena ukuran kapal kecil, Aban menyebutkan hanya mencari ikan di sekitar perairan kepulauan Arwah. Menjual ikan di perbatasan Indonesia-Malaysia, akunya pernah dilakukan di tempat itu. Mereka juga mendapati tangkapan ikan-ikan berkualitas ekspor se perti kakap hitam, pari dan lainnya. Namun semenjak adanya pengumpul ada yang langsung membeli di tengah laut, ia menyebutkan tidak pernah lagi menjual ke tengah perairan Selat Malaka.
’’Dulu tengah laut jual ikannya. Sekarang tidak lagi karena ada pengumpul. Atau dibawa ke Penipahan juga banyak yang beli. Banyak yang beli, tapi ikannya sekarang yang sedikit. Kadang rojoki-rojoki harimaulah, tapi bukan pukat harimau do,’’ katanya berseloroh.
Kepulauan Arwah, terutama Pulau Jemur sempat di klaim sebagai tujuan wisata negara Selangor Malaysia, rupanya sempat terdengar ke telinga nelayan. Ribut di media massa, termasuk petinggi negeri ini, bagi mereka kala itu hanya hal biasa saja. Sebab, menurut Aban, tidak mungkin kepulauan tersebut punya Malaysia karena dari nenek moyang orang Bagan, sudah mencari ikan.
’’Cerita orang tua-tua dulu, pernah orang Melayu Bagan berperang dengan Melayu Malaysia merebutkan pulau ini. Akhirnya orang kita menang. Zaman saya mulai melaut umur 15 tahun sampai sekarang, orang kitalah yang mencari ikan disini. Mana ada orang Malaysia yang melaut di sini. Palingan mereka membeli ikan, tapi itu dulu sekali. Tak berani bagai do orang tu. Pulau ni ado sejarahnyo dan punyo kito. Cubolah kalau berani ke siko,’’ tambah Aban sembari menyortir ikan yang didapatinya, kemudian memberikan beberapa ekor ikan Pari kepada kami untuk santap siang.
Parmin juga mengutarakan hal yang sama. Semenjak usianya 18 tahun dan kini sudah berusia 69 tahun ia melaut, kepulauan Arwah adalah milik orang Indonesia. Ia menyangsikan kalau Malaysia berani mengambil pulau tersebut sebab dari sejarah nenek moyang sudah jelas milik Indonesia.
’’Arwah-arwah nelayan orang Indonesia banyak mati di pulau ini. Dari dulu sampai sekarang orang Indonesia melaut disini. Mana berani dia ambil pulau ni. Cerita bohong aja tuh. Sampai sekarang orang Indonesia saja yang melaut di sini. Coba tengok semuanya, bicaralah, mana ada yang bahasa Malaysia. Tapi entahlah kalau turis-turis atau yang berkunjung ke sini. Karena akhir-akhir ini banyak kutengok berwisata ke sini. Seperti kalian inilah,’’ sebut Parmin menunjuk-nunjuk nelayan dan pulau-pulau yang dikenalinya dengan teliti batu karangnya.
Cukup lama menanti air laut pasang rupanya menggugah salah seorang kapten kapal, Darwin (50). Ia melihat jam pukul 12.00 WIB. Spontan ia me¬nawarkan untuk memakai sekoci miliknya agar rombongan bisa ke daratan. ’’Kalau nunggu air laut pasang, satu jam lagi. Banyak yang mau kalian kunjungi kan? Katanya kalian mau bikin video sama koran. Kalau di sini terus, kami-kami aja yang kalian ambil gambarnya. Pakai aja sekoci ini. Aman asal tenang, duduk nya jangan goyang-goyang,’’ kata Darwin dan kamipun langsung mengiyakan bantuan yang ditawarkan.
Sekoci diturunkan dan muat untuk delapan orang. Menggunakan pendayung, sekoci yang kami tumpangi digerakkan dari sandar kapal menuju daratan sekitar 300 meter. Walau air tenang, tapi karena tidak terbiasa, sekoci yang kami tumpangi oleng ke kiri dan kanan. Hal itu cukup membuat kami tegang tapi tetap diselingi canda tawa. Sebab peralatan elektronik seperti kamera dan laptop yang dibawa bisa rusak seketika jika sekoci terbalik.
Pulau Labuhanbilik sama sekali tidak berpenduduk, hanya petugas saja yang menetap. Begitu pula dengan tujuh gugusan kepulauan Arwah lainnya. Di tepi pantai, terdapat bangunan pos jaga berukuran sekitar 4 x 5 meter dengan kondisi tidak terawat dan seperti lama tidak ditempati. Kami harus berputar untuk menuju base camp petugas Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Rokan Hilir. Pasir berwarna kekuningan dengan banyak cangkang-cangkang siput, remis kami lalui. Yang perlu diwaspadai adalah adanya ular berbisa yang bersarang di sela-sela batu karang. Pulau Labuhanbilik berupa batu cadas dan tumbuh rumput liar di sela-selanya. Ha nya beberapa pohon tanpa terlihat satu batangpun pohon kelapa yang bisa tumbuh besar sehingga terik matahari cukup terasa menyengat.
Sekitar enam banguan tipe 36 yang belum selesai kami jumpai. Bangunan ini dibangun di bibir pantai, menghadap laut luas. Rupanya letaknya tepat di belakang Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan serta bangunan lain yang terpampang plang nama Kantor Penghulu Pulau Jemur, serta ba ngunan tempat membesarkan penyu hijau yang telah menetas sebelum dilepas ke laut. Kami disambut lima orang petugas Dinas Perikanan dan Kelautan yang kemudian memasak makanan laut untuk hidangan makan siang. Ikan Pari, Cumi-Cumi yang diberi nelayan tadi, dimasak untuk santap siang.
’’Kami hanya berlima dan bergantian setiap 15 hari sekali. Baru semalam kami berganti shift. Beginilah suasana di sini, tenang memandang laut di ketinggian. Dan memantau nelayan dan perairan dari illegal fishing. Selebihnya, banyak baca buku,’’ kata Andi Suryadi salah seorang PNS Dinas Perikanan dan Kelautan yang bertugas di Pulau Jemur dengan senyum khasnya.
Rumah tipe 36 yang belum selesai dibangun, cerita Andi nantinya diperuntukkan bagi nelayan yang akan menghuni pulau Labuhanbilik. Diakuinya, semenjak ribut klaim Malaysia terhadap pulau Jemur, pembangunan fisik digesa dan nantinya akan diupayakan agar pulau-pulau di Kepulauan Arwah dihuni penduduk.
Pernah katanya, beberapa orang yang mengaku datang dari Malaysia masuk melalui perairan Selat Malaka mendatangi mereka. Setelah berbincang tidak lama, beberapa orang dari Malaysia tersebut mencoba meminta dokumen tentang keberadaan Pulau Jemur.
’’Mereka minta dokumen dari Kerajaan Siak Sri Inderapura tentang Pulau Jemur. Saya bilang, kalau mau dokumen tersebut, silahkan jumpai Bupati Rokan Hilir atau pemerintah Indonesia, bukan pada kami. Kalaupun ada sama dokumen itu, tidak akan saya serahkan. Setelah itu mereka pergi kembali ke Malaysia. Mungkin mereka mau coba-coba pelajari dokumen supaya bisa mencari celah untuk mengambil pulau kita ini. Enak saja,’’ jelas Andi ketus.
Soal klaim, ternyata tidak hanya dari pihak Malaysia. Pulau Jemur rupanya sempat sedikit heboh karena hilang dari peta Rokan Hilir, beberapa waktu setelah pemekaran dari Kabupaten Bengkalis. Apalagi, cerita Andi, pernah Gubernur Sumatera Utara, menginap semalam di Pulau Jemur untuk sekedar beristirahat, kemudian sempat beredar isu Sumatera Utara ingin mengklaim. Tapi, Pemkab Rohil katanya cepat tanggap dan segera membangun kepenghuluan Pulau Jemur dengan mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat.
’’Lihat saja nanti di Pulau Jemur itu, ada bangunan yang baru dibuat Pemkab Rohil bisa untuk menginap karena sudah lengkap peralatan rumahnya. Kepenghuluan ini pun dibentuk dengan mengumpulkan tiga suku yang sejarahnya menguasai kepulauan ini. Juga sedang dibangun menara suar. Kamipun secara berkala melakukan patroli,’’ sebutnya.
Tentang illegal fishing dari negara tetangga, Andi sebut belum pernah ditemui. Namun, sesuai ketentuan yang berlaku, sebenarnya nelayan dari provinsi tetangga harus mematuhi ketentuan dan izin jika ingin mencari ikan. Namun hal itu katanya sulit ditindak karena dari dulu nelayan dari provinsi tetangga sudah terbiasa melaut ke kepulauan Arwah. Petugas Dinas Perikanan katanya hanya sekedar menyosialisasikan dan mengingatkan tentang peraturan yang berlaku, belum sampai kepada penindakan.
’’Sekarang ini sudah terjadi over fishing, di mana jumlah ikan sudah jauh berkurang karena adanya penggunakan alat tangkap ilegal seperti pukat harimau. Di kawasan Kepulauan Arwah inilah jumlah ikan masih lumayan, karena ikan bertelur dengan mudah sebab airnya tenang dilindungi dari gelombang laut. Makanya banyak nelayan provinsi tetangga yang mencari ikan kesini. Kita setakat ini sekedar mengingatkan saja,’’ terangnya.
Aturan yang dimaksud Andi adalah dengan diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah mengatur bahwa Pemerintah Propinsi memiliki kewenangan pengelolaan wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Sedangkan pemerintah kota/kabupaten berhak mengelola sepertiganya atau sejauh empat mil.
Namun, aturan ini bisa menimbulkan konflik dan sudah terjadi di beberapa daerah seperti di Jawa Tengah. Potensi konflik yang bisa terjadi disebabkan karena operasionalisasi desentralisasi pengelolaan wilayah laut belum tergambar secara jelas sehingga timbul penafsiran yang berbeda-beda baik di kalangan pemerintah daerah maupun nelayan. Sementara, sebagian kalangan nelayan menafsirkan otonomi daerah dalam bentuk pengkavlingan laut, yang berarti suatu komunitas nelayan tertentu berhak atas wilayah laut tertentu dalam batas kewenangan daerahnya, baik dalam pengertian hak kepemilikan (property rights) maupun pemanfaatan (economic rights).
Namun nelayan Kepulauan Arwah, sebut Andi belum ditemui terjadi konflik berarti akibat adanya aturan tersebut. Akan tetapi, katanya kedepan akan dilakukan pengetatan aturan, paling tidak memperjelas aturan wilayah perairan sehingga bisa terkontrol kapal-kapal yang melaut untuk meminimalisir penggunaan alat tangkap ilegal.
’’Sejauh ini belum ada yang sampai berkelahi. Kita selalu patroli kalau-kalau ada yang gunakan alat tangkap ilegal. Kekayaan alam laut di kepulauan ini masih banyak dan itu perlu dijaga serta dilestarikan’’ sebutnya.
Setelah makan siang masakan dan berbincang hangat dengan petugas Dinas Perikanan dan Kelautan, kamipun permisi hendak ke Pulau Jemur yang letaknya berhadapan berjarak sekitar 2 kilometer. Air laut sudah pasang, speedboat sudah bisa merapat ke pantai. Di Pulau Jemur inilah sejak lama bermarkas TNI Angkatan Laut dan Distrik Navigasi Ditjenhubla Kementrian Perhubungan RI serta tempat bertelurnya satwa langka penyu hijau.
Posisi Pulau Jemur memang strategis, langsung berbatas dengan perairan lepas Selat Malaka dan bebatuan serta tanahnya cukup tinggi. Kami disambut anggota TNI AL, Kopka Muslik di Pulau Jemur ini. Menggunakan teropong pantau TNI AL, bisa dilihat kapal-kapal tanker yang lalu lalang di perairan Selat Malaka. Di malam hari, lampu-lampu pelabuhan Port Lang, Negeri Selangor, Malaysia bisa dilihat. Jaraknya, juga sekitar dua jam menggunakan speedboat atau berjarak 50 KM. Namun bila dilihat di peta google, memang letak pulau Jemur lebih menjorok ke daratan Indonesia.
Kopka Muslik menceritakan semenjak adanya klaim Pulau Jemur oleh Malaysia, hingga kini kapal patroli Belawan, Dumai, KRI Halim Perdana Kusuma secara berkala melakukan patroli. Untuk udara, katanya juga secara berkala pesawat tempur Nomed N22 dari Pangkalan Tanjung Pinang juga melakukan patroli. Untuk patroli perairan, lima orang anggota TNI AL yang bertugas berganti sekali sebulan yang melakukan secara berkala, mengamankan perairan, termasuk mengamankan pencurian telur penyu yang dulu marak terjadi. Tapi sayang, kapal patroli TNI AL Pos Pulau Jemur cukup kecil dengan mesin empat piston.
’’Tapi kami selalu lapor menggunakan radio panggil kondisi terkini pulau. Jadi kalau ada apa-apa, kami langsung kontek minta bantuan. Inilah Pulau Jemur, tidak ada yang berani masuk ke wilayah kita karena sejak zaman Jepang dan Belanda, pulau ini memang milik Indonesia. Bekas bangunan zaman Belanda pun masih ada. Jadi tidak mungkin Malaysia bilang pulau ini milik dia,’’ paparnya.
Konflik antar nelayan Indonesia kata Muslik kadang juga terjadi. Biasanya, pertikaian terjadi karena daerah tangkapan atau rusaknya jaring nelayan karena saling berkait di dalam laut. Jika sudah konflik atau hampir terjadi adu fisik, biasanya para nelayan meminta tolong TNI AL untuk menyelesaikan masalah. Beberapa konflik yang terjadi antar nelayan beda daerah.
’’Kalau ada perkelahian nelayan, biasanya mereka ke sini minta diselesaikan. Ada yang rusak jaringa minta diganti rugi. Kira-kira begitulah biasanya mereka bertikai. Tapi kita selesaikan dengan baik, jika sepatutnya salah satu pihak mengganti, kita minta mengganti. Tapi semuanya bisa diselesaikan secara baik. Tapi kalau nelayan Malaysia, tidak ada yang sampai mencari ikan di sini. Mana berani mereka. Tapi jika pengawasan kita tidak ketat, bisa saja mereka diam-diam mencuri. Kita selalu awasi walaupun dengan kondisi terbatas,’’ te rangnya.
Terdapat bangunan cukup besar, musala, gazebo dan tempat santai yang dibangun menghadap laut lepas. Kami meminta Muslik untuk mendampingi melihat-lihat bangunan tersebut. Awalnya Muslik menolak karena bangunan tersebut bukan kewenangan TNI AL, tapi dibangun Pemkab Rohil. Tetap didesak, akhirnya Muslik mau menunjukkan jalan. Walaupun hanya sebuah pulau kecil, namun semak belukar dan batu cadas bisa menyulitkan, apalagi ancaman ular berbisa yang banyak berkeliaran.
Bangunan cukup besar ternyata memiliki 12 kamar tempat tidur. Satu kamar berukuran sekitar 3,5 x 4 meter dan lengkap dengan kamar mandi termasuk tempat tidur spring bed. Agaknya, kamar-kamar tersebut memang disiapkan bagi yang mau menginap, tapi tidak diketahui apakah untuk turis atau para pejabat. Bangunan tersebut sudah selesai, tapi tidak terawat dengan ditumbuhi semak beluar di depan, belakang dan samping. Pembangunan bangunan tersebut menelan anggaran lebih dari satu miliar.
Berjarak 10 meter, terdapat musala berukuran sekitar 7 x 10 meter. Tapi, lagi-lagi sekelilingnya ditumbuhi semak belukar. Lebih menjorok ke bibir pantai, dibangun Gazebo, tapi kayunya sudah mulai lapuk. Ada juga tempat duduk berpayungkan semenisasi, tapi juga tidak terawat. Dan berjarak sekitar 20 meter dari bibir pantai, terdapat pulau pasir kecil berwarna kuning keemasan yang merupakan tempat habitat bertelurnya penyu hijau.
Agaknya, bangunan permanan yang sudah selesai dibangun, baik di Pulau Labuhan Bilik atau Pulau Jemur baru sebatas simbol karena belum termanfaatkan secara baik, terkesan sekedar untuk meyakinkan bahwa kepulauan tersebut milik Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bila diibaratkan, bangunan fisik tak bertuan tersebut bak orang-orangan ditengah sawah guna menakut-nakuti burung pencuri padi.
Selain memandang perairan Selat Malaka, dari bagian belakang akan terlihat seluruh gugusan pulau Arwah. Dari ketinggian inilah gugusan pulau ini terlihat indah, dengan air laut biru, kadang kehijauan. Tampak pula menara suar yang dibangun Pemkab Rohil di Pulau Batu Mandi.
Kepulauan Arwah dikenal dengan Pulau Jemurnya memang layak dijadikan sebagai salah satu tujuan wisata nan eksotis. Mengelilingi gugusan pulau, agaknya memancing, menyelam, menikmati hasil tangkapan ikan dari nelayan, dan melihat penyu bertelur di malam hari, bisa menjadi daya tarik tersendiri sebagai tujuan wisata. Laut yang tenang juga bisa melupakan kelelahan aktivitas kehidupan sehari-hari perkotaan. Tapi, adanya potensi konflik, baik ancaman klaim dari negara tetangga, konflik nelayan harus diantisipasi sejak dini karena saat ini masih menjadi bara yang bisa membakar sewaktu-waktu.
Belakangan, disebutkan Andi dan Muslik ada beberapa rombongan yang ingin menikmati keindahan kepulauan Arwah, khusus Pulau Jemur. Yang datang, biasanya mencarter speedboat, untuk menyelam, memancing atau sekedar menjawab rasa penasaran tentang keberadaan pulau tersebut.
Sekretaris Dinas Pariwisata Rokan Hilir, Sri Arlina SH ditemui di Rokan Hilir mengakui transportasi dan masih belum terbenahinya sarana prasarana di Pulau Jemur masih menjadi kendala. Untuk kedepan, katanya, upaya Pemkab Rohil untuk mengembangkan kawasan kepulauan Arwah, akan dicarikan investor. ’’Kita sedang mencari investor untuk mengembangkan Pulau Jemur,’’ katanya.(fiz)


Selengkapnya...

Museum dan Manuskrip Berdebu

.
0 komentar

Balada Sang Nila Utama




Riau merupakan gudangnya naskah klasik. Orang luar banyak perhatiannya pada naskah-naskah klasik Riau. Lihat saja naskah-naskah klasik Riau banyak ditemukan di perpustakaan luar negeri seperti di Kualalumpur, Singapura, Balanda, Prancis dan Amerika. Di Pekanbaru, naskah itu tersimpan di ruang penyimpanan Museum Sang Nila Utama. Tak terawat dan berdebu.



Laporan HELFIZON ASSYAFEI, Pekanbaru
helfizon@riaupos.com

Suatu pagi menjelang siang di Solo Juli 2010. Sebuah simposium internasional tentang naskah klasik digelar. Sejumlah filolog (ahli manuskrip) dunia tampil pada acara itu. Ada Jan Van der Putten dari Belanda, Russel John dari Perancis dan sejumlah filolog lainnya termasuk dari Indonesia.
Sebuah pernyataan mengejutkan diungkap oleh filolog asal Belanda Jan Van der Putten. Ia banyak meneliti naskah klasik di Kepulauan Riau. “Riau itu gudangnya naskah klasik bernilai tinggi. Namun banyak yang tidak tahu dan tidak mau tahu,” ujarnya dengan bahasa Indonesia yang masih terbata-bata.
Kontan pernyatannya itu menyengat filolog Indonesia yang juga tampil pada kesempatan itu Dr Ellya Roza. Dia satu-satunya filolog Indonesia dari Riau yang tampil membawakan makalah bertajuk Penelusuran Naskah Klasik di Kampar Riau. “Saya merasa tertohok dengan pernyataan itu namun apa mau dikata faktanya memang demikian,” ujarnya kepada Riau Pos saat ditemui di kediamannya di Panam Pekanbaru.
. Ia pernah mencari data manuskrip asli kerajaan Siak hingga ke Belanda. ‘’Untuk mengkopi naskah di Balanda, saya sampai menghabiskan uang Rp45 juta. Harga foto kopi naskah per lembar mencapai 8 Euro,’’ ujar Doktor yang pernah menulis disertasi tentang Sejarah Kerajaan Siak. Lebih lanjut Ellya menjelaskan saat ini orang luar (asing) mau membeli per naskah 3.000 ringgit atau 2.000 dolar Singapura. Sementara kita baru Rp500 ribu per naskah (untuk difoto). Itu pun baru Depag yang berani berbuat. Bagaimana lembaga lainnya, mungkin hanya mengambil begitu saja dari pemiliknya, dengan alasan setiap naskah klasik adalah milik negara.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa naskah-naskah yang tersebar di rumah penduduk itu sangat rawan diperjual-belikan atau dibiarkan rusak. ‘’Kita tidak berburuk sangka pada orang luar, tapi kenyataannya kalau mau mendapatkan naskah itu kita sekarang harus keluar negeri. Artinya mereka berhasil menyelamatkan naskah-naskah itu yang tersebar di masyarakat, walau dibeli dengan harga yang tinggi tapi akhirnya kita harus membelinya pula untuk melihatnya kembali,’’ papar filolog yang berhasil mentransliterasi (alih aksara) manuskrip abad 18 berjudul Asal Ilmu Tabib karya Raja Haji Daud bin Haji Ahmad bin Raja Haji Fisabillillah.
Padahal, lanjutnya, kalau pemerintah Indonesia, khususnya Pemprov Riau, mau belajar dari Belanda, Singapura dan Malaysia, upaya penyelamatan naskah itu akan menghasilkan uang juga. ‘’Bayangkan per naskah, kalau difotokopi harus bayar Rp8 uero. Bahkan sekarang mereka mengembangkannya lagi dengan micro film. Untuk mendapatkan satu micro film untuk satu naskah manuskrip itu harganya tidak kurang dari Rp1 juta. Itu baru satu naskah,” ujarnya lagi. Ellya Roza pun saat ini sedang meneliti tentang Khutbah Tabung, yakni naskah khutbah jumat yang tersimpan di tabung bambu. Naskah ini banyak ditemukan di masji-masjid tua atau ulama-ulama di kampung.
”Biasanya siapa saja yang menjadi khatib, mereka mengambil tabung yang berisi tulisan khutbah Jumat tersebut. Setelah selesai khutbah, tabung itu digantung dekat mimbar. Praktik seperti ini masih dilakukan di sejumlah masjid tua di kampung-kampung,” ujarnya. Tulisan khutbah Jumat tersebut banyak yang sudah berumur tua, dan ada yang masih disimpan di pesantren dan rumah penduduk. Ini juga merupakan naskah klasik yang perlu diselamatkan, sebab umurnya sudah 50 tahun ke atas.

Naskah di Museum Sang Nila Utama
Menanggapi soal naskah yang tersimpan di Museum Sang Nila Utama Pekanbaru, Doktor filolog lulusan Unpad ini mengatakan bahwa naskah-naskah itu bernilai tinggi. Menurut Ellya yang sempat diminta jadi konsultan Museum Sang Nila Utama mengatakan bahwa problem museum itu ada tiga yakni pendanaan, tenaga ahli dan infrastruktur.
Kurangnya pendanaan, lanjutnya, membuat koleksi museum tak bertambah karena untuk mencari dan mendapatkan manuskrip itu tidak mudah dan memerlukan dana. Kurangnya tenaga ahli membuat manuskrip yang ada malah tak terpelihara cepat rusak, hancur dan hilang. ”Saya melihat cara menyimpan yang main tumpuk pada satu lemari saja jelas membuat manuskrip-manuskrip ini mudah rusak dan hancur,” ujarnya.
Dari pengamatannya cara penyimpanan yang tidak teratur itu membuat manuskrip bercerai-berai halamannya. Sedangkan manuskrip gelondongan (tulisan-tulisan di atas bambu yang bisa digulung) kini telah banyak yang rusak dan patah. Ia juga pernah mengusulkan agar manuskrip itu dilaminating, ruang penyimpanannya ber AC dan dirawat dengan teknik filolog. Namun karena semua terkait anggaran usulan itu kemudian tidak pernah direalisasikan.
Ellya mengatakan bahwa mengapa museum perlu tenaga ahli yang khusus karena untuk perawatan BCB seperti naskah klasik diperlukan pemahaman dan ketelatenan yang penuh kesabaran. ”Jika pegawai museum berganti-ganti dan asal ditempatkan maka ya itu tadi tidak memahami ketinggian nilai suatu peninggalan sejarah serta tidak sabar dalam merawat dan menyimpannya,” ujar Ellya lagi.
Usulan lainnya sebagai konsultan adalah agar Museum Sang Nila Utama punya bus khusus untuk jemput bola ke sekolah-sekolah agar siswa berkesempatan berkunjung ke museum menambah wawasan tentang sejarah awal budaya Melayu. Mekanismenya sekolah tinggal menetapkan tanggal kunjungan maka pihak museum yang akan menjemput. ”Ya itu tadi lagi-lagi tak direalisasikan,” ujarnya tersenyum. Sedangkan infrastruktur berupa perawatan gedung dan menjadikannya standar layak penyimpanan BCB masih belum maksimal.
Mantan kepala museum sebelumnya yakni R Yose Rizal Zen yang kini jadi duta Museum Sang Nila Utama mengatakan bahwa keterbatasan yang dialami museum itu memang benar. Ia menyebut keterbatasan itu ada di tiga sektor yakni pertama, bagian pelayanan dan panduan pengunjung belum maksimal. Kedua, bagian koleksi. ”Harusnya minimal per 3 tahun sekali ada penambahan harusnya tetapi ini tidak. Selain itu di buku masukan dan saran museum sering menerima komplain seperti ruangan yang panas, ketergangan gambar (stroy line) yang belum pas dan lainnya. Ketiga, bagian konservasi (pelestarian) dan perawatan BCB seperti manuskrip. ”Kita belum mempunya laboratorium yang memadai untuk keperluan konservasi ini,” ujarnya lagi.
Lebih lanjut Yose Rizal Zen menjelaskan bahwa saat ini museum masih menyimpan 48 manuskrip asli dari berbagai abad. Ditambah replika manuskrip jumlahnya mencapai 133 manuskrip. Menanggapi soal manuskrip Melayu Riau rawan diperjual-belikan, Yose mengatakan hal itu memang benar. ”Meski dilarang UU tetapi transaksi gelap sering terjadi,” ujarnya. Apalagi, lanjutnya, sulit membuktikan aktivitas itu. Menurut Yos demikian sapaan akrabnya, pernah terjadi mereka menemukan warga yang memiliki manuskrip bernilai tinggi.
”Mereka bersedia melepas dengan harga tertentu. Kita minta tempo waktu dan mengajukan anggaran untuk membelinya. Karena terlalu lama cair anggaran saat kita kontak lagi ternyata manuskrip itu sudah dilepas ke orang Korea yang juga berburu naskah kuno hingga ke Riau,” ujarnya. Menurutnya perburuan naskah kuno atau manuskrip abad lampau ini cukup gencar terjadi. Menurutnya Museum Sang Nila Utama cukup diminati peneliti benda-benda purbakala. Bahkan sepanjang Januari hingga Juli, tercatat sekitar belasan peneliti, baik mancanegara maupun yang datang dan menunjukkan minatnya meneliti perkakas yang tersimpan di sana.
Menurutnya kehadiran peneliti asal Amerika, Norwegia, Malaysia, Singapura, Itali dan sebagainya tidak terlepas dari keinginan mereka untuk mengetahui keakuratan data serta keaslian benda-benda tersebut, salah satunya manuskrip alias naskah kuno. Selain menyimpan banyak manuskrip Melayu tua, museum juga menyimpan banyak benda-benda purbakala dari abad 16-20 Masehi seperti keramik Cina, batu nisan, alat-alat musik dan banyak lagi.
Lebih lanjut ia menambahkan koleksi museum hingga saat ini sudah berjumlah 4.194 buah. Terdiri dari Geologika 7 buah, Biologika 90 buah, Ethnografika 1915 buah, Arkeologika 40 buah, Historika 187 buah, Numismatika/Heraldika 1459 buah, Filologika/Referensi 65 buah, Kramologika 385 buah, Seni Rupa 16 buah dan Teknologika 31 buah.
Sementara itu Ketua Masyarakat Sejarahwan Riau, Prof Suwardi MS menilai museum adalah institusi yang tugasnya tidak hanya sekedar memamerkan benda-benda sejarah. Tapi lebih luas dari itu, juga mesti mampu menyelamatkan untuk kemudian diwariskan kepada masyarakat dan peneliti-peneliti atau sejarahwan. Juga tidak kalah penting, lanjutnya, museum semestinya juga sebagai wadah diskusi sehingga pengunjung tidak sekedar melihat saja, tapi bisa lebih jauh mengetahui asal usul dan fungsi benda sejarah itu pada masa lalunya.
''Ruang diskusi harus diciptakan di museum. Bisa saja misalnya secara berkala dilakukan kegiatan diskusi terhadap artefak atau benda sejarah yang memiliki daya tarik tinggi oleh masyarakat. Untuk menghadirkan benda purbakala yang memiliki daya tarik tinggi, tentunya harus bersama-sama masyarakat mencarinya. Kita sepertinya belum memiliki ruang diskusi dan benda yang memiliki daya tarik tinggi itu, misalnya patung emas di Candi Muara Takus, Sabuk emas raja dan lain sebagainya,'' urai Suwardi.
Dan lebih penting pula, keberadaan museum harus juga ditopang oleh sumber daya manusia yang ahli di bidangnya. Misalnya seorang arkeolog, filolog, akademisi murni sejarah, dan itu memerlukan orang-orang yang ingin tekun belajar di bidang itu. Perencanaan konfrehensi katanya juga termasuk hal penting penyiapan SDM yang dimaksud. Jika ini tidak dilengkapi, nantinya perawatan benda dan pencarian, dianggap hal yang sepele dan cenderung diabaikan karena terfokus pada pengelolaan gedung saja. Padahal roh sebuah museum adalah kebendaan yang terjaga, terawat hingga bisa diwariskan sampai ke ratusan tahun, bahkan ribuan tahun ke depan.
''Mulailah untuk melengkapi SDM, merencanakan untuk mencari bersama-sama masyarakat benda sejarah penting. Seorang arkeolog, filolog bersama sejarahwan tentunya dapat mencoba melakukan pencarian benda-benda penting yang tertimbun atau sudah ditemukan masyarakat. Kalau tidak diperhatikan, ya, akhirnya seperti yang sudah terjadi banyak dijual ke luar negeri,'' terangnya.

Dijual Ke Luar Negeri
Banyak benda sejarah dan purbakala yang ditemukan masyarakat atau bahkan sebagian peneliti dijual ke luar negeri. Hal ini tidak dinafikan oleh Suwardi MS. Hal ini terangnya karena lemahnya perhatian pemerintah dan tidak cepat dalam mengganti rugi benda yang ditemukan masyarakat.
''Di Sedinginan, Tanah Putih, saya pernah melihat masyarakat menemukan sabuk emas, perak, perunggu yang bernilai sejarah tinggi saat menggali pondasi tinggi. Karena pemerintah tidak cepat berinisiatif mengganti rugi, akhirnya benda itu hilang. Mungkin sudah dijual. Masih banyak benda-benda sejarah yang ditemukan masyarakat, yang seharusnya pemerintah, dalam hal ini museum mengganti rugi,'' terangnya.
Supaya cepat tanggap jika ada temuan masyarakat atas benda sejarah dan kepubrakalaan, pemerintah mengganggarkan dana untuk itu. Jadi sewaktu-waktu ada benda penting ditemukan, pemerintah dengan kewenangannya bisa mengganti rugi dan kemudian disimpan di museum. Tentunya, jika ada benda berharga di museum, sistem keamanan juga harus lebih diperketat lagi.
''Kalau tidak, ya begini sajalah terus menerus. Ketika ada benda penting ditemukan, dijual. Dan banyak memang orang luar negeri yang berminat untuk membeli benda sejarah ini. Selain bernilai kebendaan seperti emasnya, tapi lebih bernilai lagi sejarahnya. Harus benar-benarlah memperhatikan benda sejarah dan simbolnya adalah museum,'' tuturnya. (fiz)

Selengkapnya...
 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com