SAUDARA-SAUDARA KU, setiap orang digerakkan oleh dua hal yakni ekonomi (harta) dan rasa aman. Namun ada orang yang digerakkan bukan oleh dua hal di atas. Siapa mereka? Merekalah orang-orang ikhlas yang digerakkan oleh keyakinan akan perjumpaan dengan Allah SWT suatu hari kelak. caranya? ESQ 165 The Way of Live. Join Us!

02 Maret 2011

Liputan Perjalanan ke Pulau Jemur ROHIL-Riau

. 02 Maret 2011

Ancaman Perbatasan dan Potensi Konflik Antar Nelayan di Perairan Pulau Jemur
Minim Transportasi, Orang-orangan Sawah dan Eksotisme



Terik matahari pagi cukup menyilaukan mata dan biru langit menandakan cuaca sangat bersahabat. Air Sungai Rokan yang bertemu dengan air laut di pelabuhan lama Bagan Siapi-api juga kelihatan tenang. Pagi pekan lalu, tim Lipsus Riau Pos mendapat kesempatan untuk menjejakkan kaki di Kepulauan Arwah, terutama di Pulau Jemur yang belum lama ini di persoalkan karena di klaim sebagai salah satu tujuan wisata negara Malaysia.


Laporan M HAPIZ dan MUNAZLEN N, Bagan Siapi-api.
redaksi@riaupos.com

SEJURUS kemudian, pemuda yang berkeinginan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi tapi tidak memiliki biaya dan bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) di Tenggiri Expres, Anas (20), melepaskan tali kapal setelah rombongan menyatakan siap untuk berangkat. Rombongan hanya berenam, ditambah tiga orang awak kapal mengisi Tenggiri Express yang berkapasitas sekitar 40 orang.
Sebelum seluruh tali temali kapal dilepaskan, kapten kapal tampak berdiskusi serius dengan ABK lain yang sepertinya cukup memahami cuaca perairan laut. Mereka memandang ke arah langit, terutama arah tujuan ke kepulauan Arwah. Hanya beberapa menit berbincang, kaptenpun mulai menghidupkan mesin motor speedboat dan kapalpun di putar 180 derajat menuju tujuan, meninggalkan kota Bagan Siapi-api.
Selesai melaksanakan tugasnya melepaskan tali kapal, agaknya Anas (20) lebih banyak santai. Ia pun melontarkan kalimat pendek tapi cukup membuat penasaran. ’’Bisa jadi cuaca tidak bagus nanti,’’ ujar putra kelahiran Penipahan ini, tapi tetap dengan melempar senyum dan tidak kelihatan cemas sama sekali. Ia duduk diatas kapal tanpa cemas sama sekali dengan kondisi laju kapal diperkirakan 60 Km/jam.
’’Lihat saja nanti. Kalau cuaca bagus saat melewati pulau-pulau menuju laut lepas, berarti aman. Tapi kalau cuaca tidak bagus sebelum ke laut lepas, bisa jadi merapat ke darat dulu. Karena banyak pancang-pancang nelayan dan batu karang yang kalau cuaca tidak bagus bisa menghempaskan badan kapal. Tapi saya rasa aman-aman saja,’’ ujarnya tenang dan melempar senyum.
Pulau Alang yang cukup besar telah dilewati, begitu pula beberapa pulau mengitari lainnya. Kemudian nampak di kejauhan beberapa batu karang kecil yang disebut Pulau Tukongmas. Satu jam lebih lima belas menit, kapal mulai memasuki laut lepas. Rupanya benar, langit biru tiba-tiba berubah menjadi hitam kelam. Kapten pun memerintahkan menutup semua jendela kapal dan pintu masuk. Perjalanan diiringi dengan hujan lebat, lajut speedboat diperlambat, itupun masih terhembas-hempas akibat gelombang laut yang beriak.
’’Tak apo do. Dah di laut lepas, tak masalah lagi. Tu pulaunyo,’’ ujar Anas dan cukup membuat hati tenang, apalagi gugusan kepulauan Arwah satu persatu nampak dari kejauhan. Waktu tempuh perjalanan menggunakan speedboat rupanya tidak terlalu lama, yaitu sekitar satu jam empat puluh lima menit. Tapi jika menggunakan perahu kapal motor kecil atau disebut pompong, perjalanan bisa mencapai 5-6 jam, tergantung cuaca laut. Kerap orang yang ingin menuju ke Pulau Jemur menggunakan kapal pompong karena biaya carter relatif kecil sekitar Rp2 juta, dibandingkan speedboat yang bisa mencapai Rp7-8 juta.
Gugusan Pulau Arwah terdiri dari pulau Tukongpe rak, Sarang Adang, Tukong mas, Tokong Simbang, dan Labuhanbilik, Pulau Batu Berlayar, Pulau Jemur, Pulau Batu Mandi dan Pulau Batu Adang. Kawasan ini masuk pemerintahan Kepenghuluan Pulau Jemur di wilayah desa Teluk Pulai, Kecamatan Pasir Limau Kapas, Kabupaten Rohil, Riau. Pulau Labuhanbilik dan Pulau Jemur yang ukurannya cukup besar sehingga bisa didirikan bangunan permanen.
Kedatangan kami menggunakan kapal Speedboat rupanya menarik perhatian kapal-kapal nelayan yang bersandar di Pulau Labuhanbilik, salah satu gugusan kepulauan Arwah. Karakter fisik pulau ini cukup unik, karena terdapat bilik-bilik laut dikelilingi batu pulau sehingga airnya tenang, walau disaat cuaca sedang tidak bersahabat. Nelayan biasanya bersandar, memperbaiki jaring yang rusak, memperbaiki mesin, mensortir hasil tangkapan atau langsung transaksi menjual ikan sebab ada kapal pengumpul yang khusus bersandar membeli hasil tangkapan nelayan.
Air laut surut dan speedboat tidak bisa merapat ke tepi pulau. Mau tidak mau, kapal dirapatkan dengan deretan kapal nelayan yang melabuhkan jangkar di laut yang agak dalam. Kapten kapal menyatakan menunggu air laut sedikit naik, barulah merapat ke daratan. Itu artinya, menunggu hingga satu setengah jam. Inilah waktu kami berbincang dengan nelayan yang tengah asik dengan beragam aktivitas.
’’Tidak banyak. Palingan baru terisi sekitar 2 ton. Kalau sekarang bisa dibawa 3 ton saja sudah baiklah itu. Kalau ditanya dulu, kapal ini bisa bawa ikan sampai 12 ton. Sekarang ikan tidak sebanyak dulu. Saya sudah melaut selama 30 tahun dan di sinilah (Kepulauan Arwah) yang masih lumayan ikannya,’’ ujar Parmin Sembiring (69), kapten kapal GT 29 No 20227pp yang berasal dari Labuhanbatu, Sumatera Utara yang awalnya ragu menyebut marganya karena nama awal kental dengan panggilan nama Jawa.
Kapal Sembiring tergolong paling besar dibandingkan kapal nelayan lain yang labuh jangkar. Panjang kapal sekitar 30-40 meter dengan lebar tengah sekitar 7 meter, kapalnya berisikan peti-peti es berisikan ikan dibeli dari nelayan. Ikan yang dikumpulkanpun beragam. Yang cukup mahal, bawal, cumi-cumi, pari, ada juga ikan hiu berukuran kecil. Kapal parmin khusus membawa hasil pembelian ikan dari nelayan dan terdapat kapal yang berukuran agak kecil yang tugasnya menimbang dan membayar hasil pembelian ikan dari nelayan.
Apakah ia mengetahui adannya kapal asal Malaysia yang mencari ikan di perairan Indonesia? Parmin mengaku tahun 1990-an hal itu sering terjadi. Tapi sekarang ini, sejak alat penangkapan ikan sudah modern, tidak pernah lagi. Kalaupun ada, sebutnya, berkemungkinan di perairan laut Selat Malaka dan hanya kapal besar yang berani. Untuk ukuran nelayan Indonesia, sebut Parmin, hanya mencari ikan di sekitar kepulauan Arwah atau di laut yang agak tenang. Namun, ada juga kemungkinan yang jual ikan di perbatasan laut Indonesia-Malaysia.
’’Mana berani kita ke Selat Malaka sana. Nanti bisa-bisa digulingkan gelombang. Kalau di sana itu kapalnya udah besar-besar. Dulu sekali pernah kami coba ke tengah laut sana. Tapi lebih enak dan aman di tempat kita ini. Kapal Malaysia juga tidak ada lagi ketempat kita ini. Mana berani mereka kesini,’’ kata kakek empat cucu ini yang mengaku sulit hidup didarat karena terbiasa hidup di laut.
Nelayan asal Penipahan, Kabupaten Bagan Siapi Api, menggunakan kapal pompong kecil, Aban (35), hari itu tangkapannya tidak begitu banyak. Dengan kondisi basah kuyup, ia menyortir ikan yang diletakkan dibawah lambung kapal untuk dijual sebagian kepada pengumpul. ’’Ndak banyak. Ini Cuma 30 ribu,’’ katanya memperlihatkan hasil menjual ikan hiu kecil berukuran panjang sekitar 30 Cm yang didapatnya hari itu.
Karena ukuran kapal kecil, Aban menyebutkan hanya mencari ikan di sekitar perairan kepulauan Arwah. Menjual ikan di perbatasan Indonesia-Malaysia, akunya pernah dilakukan di tempat itu. Mereka juga mendapati tangkapan ikan-ikan berkualitas ekspor se perti kakap hitam, pari dan lainnya. Namun semenjak adanya pengumpul ada yang langsung membeli di tengah laut, ia menyebutkan tidak pernah lagi menjual ke tengah perairan Selat Malaka.
’’Dulu tengah laut jual ikannya. Sekarang tidak lagi karena ada pengumpul. Atau dibawa ke Penipahan juga banyak yang beli. Banyak yang beli, tapi ikannya sekarang yang sedikit. Kadang rojoki-rojoki harimaulah, tapi bukan pukat harimau do,’’ katanya berseloroh.
Kepulauan Arwah, terutama Pulau Jemur sempat di klaim sebagai tujuan wisata negara Selangor Malaysia, rupanya sempat terdengar ke telinga nelayan. Ribut di media massa, termasuk petinggi negeri ini, bagi mereka kala itu hanya hal biasa saja. Sebab, menurut Aban, tidak mungkin kepulauan tersebut punya Malaysia karena dari nenek moyang orang Bagan, sudah mencari ikan.
’’Cerita orang tua-tua dulu, pernah orang Melayu Bagan berperang dengan Melayu Malaysia merebutkan pulau ini. Akhirnya orang kita menang. Zaman saya mulai melaut umur 15 tahun sampai sekarang, orang kitalah yang mencari ikan disini. Mana ada orang Malaysia yang melaut di sini. Palingan mereka membeli ikan, tapi itu dulu sekali. Tak berani bagai do orang tu. Pulau ni ado sejarahnyo dan punyo kito. Cubolah kalau berani ke siko,’’ tambah Aban sembari menyortir ikan yang didapatinya, kemudian memberikan beberapa ekor ikan Pari kepada kami untuk santap siang.
Parmin juga mengutarakan hal yang sama. Semenjak usianya 18 tahun dan kini sudah berusia 69 tahun ia melaut, kepulauan Arwah adalah milik orang Indonesia. Ia menyangsikan kalau Malaysia berani mengambil pulau tersebut sebab dari sejarah nenek moyang sudah jelas milik Indonesia.
’’Arwah-arwah nelayan orang Indonesia banyak mati di pulau ini. Dari dulu sampai sekarang orang Indonesia melaut disini. Mana berani dia ambil pulau ni. Cerita bohong aja tuh. Sampai sekarang orang Indonesia saja yang melaut di sini. Coba tengok semuanya, bicaralah, mana ada yang bahasa Malaysia. Tapi entahlah kalau turis-turis atau yang berkunjung ke sini. Karena akhir-akhir ini banyak kutengok berwisata ke sini. Seperti kalian inilah,’’ sebut Parmin menunjuk-nunjuk nelayan dan pulau-pulau yang dikenalinya dengan teliti batu karangnya.
Cukup lama menanti air laut pasang rupanya menggugah salah seorang kapten kapal, Darwin (50). Ia melihat jam pukul 12.00 WIB. Spontan ia me¬nawarkan untuk memakai sekoci miliknya agar rombongan bisa ke daratan. ’’Kalau nunggu air laut pasang, satu jam lagi. Banyak yang mau kalian kunjungi kan? Katanya kalian mau bikin video sama koran. Kalau di sini terus, kami-kami aja yang kalian ambil gambarnya. Pakai aja sekoci ini. Aman asal tenang, duduk nya jangan goyang-goyang,’’ kata Darwin dan kamipun langsung mengiyakan bantuan yang ditawarkan.
Sekoci diturunkan dan muat untuk delapan orang. Menggunakan pendayung, sekoci yang kami tumpangi digerakkan dari sandar kapal menuju daratan sekitar 300 meter. Walau air tenang, tapi karena tidak terbiasa, sekoci yang kami tumpangi oleng ke kiri dan kanan. Hal itu cukup membuat kami tegang tapi tetap diselingi canda tawa. Sebab peralatan elektronik seperti kamera dan laptop yang dibawa bisa rusak seketika jika sekoci terbalik.
Pulau Labuhanbilik sama sekali tidak berpenduduk, hanya petugas saja yang menetap. Begitu pula dengan tujuh gugusan kepulauan Arwah lainnya. Di tepi pantai, terdapat bangunan pos jaga berukuran sekitar 4 x 5 meter dengan kondisi tidak terawat dan seperti lama tidak ditempati. Kami harus berputar untuk menuju base camp petugas Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Rokan Hilir. Pasir berwarna kekuningan dengan banyak cangkang-cangkang siput, remis kami lalui. Yang perlu diwaspadai adalah adanya ular berbisa yang bersarang di sela-sela batu karang. Pulau Labuhanbilik berupa batu cadas dan tumbuh rumput liar di sela-selanya. Ha nya beberapa pohon tanpa terlihat satu batangpun pohon kelapa yang bisa tumbuh besar sehingga terik matahari cukup terasa menyengat.
Sekitar enam banguan tipe 36 yang belum selesai kami jumpai. Bangunan ini dibangun di bibir pantai, menghadap laut luas. Rupanya letaknya tepat di belakang Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan serta bangunan lain yang terpampang plang nama Kantor Penghulu Pulau Jemur, serta ba ngunan tempat membesarkan penyu hijau yang telah menetas sebelum dilepas ke laut. Kami disambut lima orang petugas Dinas Perikanan dan Kelautan yang kemudian memasak makanan laut untuk hidangan makan siang. Ikan Pari, Cumi-Cumi yang diberi nelayan tadi, dimasak untuk santap siang.
’’Kami hanya berlima dan bergantian setiap 15 hari sekali. Baru semalam kami berganti shift. Beginilah suasana di sini, tenang memandang laut di ketinggian. Dan memantau nelayan dan perairan dari illegal fishing. Selebihnya, banyak baca buku,’’ kata Andi Suryadi salah seorang PNS Dinas Perikanan dan Kelautan yang bertugas di Pulau Jemur dengan senyum khasnya.
Rumah tipe 36 yang belum selesai dibangun, cerita Andi nantinya diperuntukkan bagi nelayan yang akan menghuni pulau Labuhanbilik. Diakuinya, semenjak ribut klaim Malaysia terhadap pulau Jemur, pembangunan fisik digesa dan nantinya akan diupayakan agar pulau-pulau di Kepulauan Arwah dihuni penduduk.
Pernah katanya, beberapa orang yang mengaku datang dari Malaysia masuk melalui perairan Selat Malaka mendatangi mereka. Setelah berbincang tidak lama, beberapa orang dari Malaysia tersebut mencoba meminta dokumen tentang keberadaan Pulau Jemur.
’’Mereka minta dokumen dari Kerajaan Siak Sri Inderapura tentang Pulau Jemur. Saya bilang, kalau mau dokumen tersebut, silahkan jumpai Bupati Rokan Hilir atau pemerintah Indonesia, bukan pada kami. Kalaupun ada sama dokumen itu, tidak akan saya serahkan. Setelah itu mereka pergi kembali ke Malaysia. Mungkin mereka mau coba-coba pelajari dokumen supaya bisa mencari celah untuk mengambil pulau kita ini. Enak saja,’’ jelas Andi ketus.
Soal klaim, ternyata tidak hanya dari pihak Malaysia. Pulau Jemur rupanya sempat sedikit heboh karena hilang dari peta Rokan Hilir, beberapa waktu setelah pemekaran dari Kabupaten Bengkalis. Apalagi, cerita Andi, pernah Gubernur Sumatera Utara, menginap semalam di Pulau Jemur untuk sekedar beristirahat, kemudian sempat beredar isu Sumatera Utara ingin mengklaim. Tapi, Pemkab Rohil katanya cepat tanggap dan segera membangun kepenghuluan Pulau Jemur dengan mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat.
’’Lihat saja nanti di Pulau Jemur itu, ada bangunan yang baru dibuat Pemkab Rohil bisa untuk menginap karena sudah lengkap peralatan rumahnya. Kepenghuluan ini pun dibentuk dengan mengumpulkan tiga suku yang sejarahnya menguasai kepulauan ini. Juga sedang dibangun menara suar. Kamipun secara berkala melakukan patroli,’’ sebutnya.
Tentang illegal fishing dari negara tetangga, Andi sebut belum pernah ditemui. Namun, sesuai ketentuan yang berlaku, sebenarnya nelayan dari provinsi tetangga harus mematuhi ketentuan dan izin jika ingin mencari ikan. Namun hal itu katanya sulit ditindak karena dari dulu nelayan dari provinsi tetangga sudah terbiasa melaut ke kepulauan Arwah. Petugas Dinas Perikanan katanya hanya sekedar menyosialisasikan dan mengingatkan tentang peraturan yang berlaku, belum sampai kepada penindakan.
’’Sekarang ini sudah terjadi over fishing, di mana jumlah ikan sudah jauh berkurang karena adanya penggunakan alat tangkap ilegal seperti pukat harimau. Di kawasan Kepulauan Arwah inilah jumlah ikan masih lumayan, karena ikan bertelur dengan mudah sebab airnya tenang dilindungi dari gelombang laut. Makanya banyak nelayan provinsi tetangga yang mencari ikan kesini. Kita setakat ini sekedar mengingatkan saja,’’ terangnya.
Aturan yang dimaksud Andi adalah dengan diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah mengatur bahwa Pemerintah Propinsi memiliki kewenangan pengelolaan wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Sedangkan pemerintah kota/kabupaten berhak mengelola sepertiganya atau sejauh empat mil.
Namun, aturan ini bisa menimbulkan konflik dan sudah terjadi di beberapa daerah seperti di Jawa Tengah. Potensi konflik yang bisa terjadi disebabkan karena operasionalisasi desentralisasi pengelolaan wilayah laut belum tergambar secara jelas sehingga timbul penafsiran yang berbeda-beda baik di kalangan pemerintah daerah maupun nelayan. Sementara, sebagian kalangan nelayan menafsirkan otonomi daerah dalam bentuk pengkavlingan laut, yang berarti suatu komunitas nelayan tertentu berhak atas wilayah laut tertentu dalam batas kewenangan daerahnya, baik dalam pengertian hak kepemilikan (property rights) maupun pemanfaatan (economic rights).
Namun nelayan Kepulauan Arwah, sebut Andi belum ditemui terjadi konflik berarti akibat adanya aturan tersebut. Akan tetapi, katanya kedepan akan dilakukan pengetatan aturan, paling tidak memperjelas aturan wilayah perairan sehingga bisa terkontrol kapal-kapal yang melaut untuk meminimalisir penggunaan alat tangkap ilegal.
’’Sejauh ini belum ada yang sampai berkelahi. Kita selalu patroli kalau-kalau ada yang gunakan alat tangkap ilegal. Kekayaan alam laut di kepulauan ini masih banyak dan itu perlu dijaga serta dilestarikan’’ sebutnya.
Setelah makan siang masakan dan berbincang hangat dengan petugas Dinas Perikanan dan Kelautan, kamipun permisi hendak ke Pulau Jemur yang letaknya berhadapan berjarak sekitar 2 kilometer. Air laut sudah pasang, speedboat sudah bisa merapat ke pantai. Di Pulau Jemur inilah sejak lama bermarkas TNI Angkatan Laut dan Distrik Navigasi Ditjenhubla Kementrian Perhubungan RI serta tempat bertelurnya satwa langka penyu hijau.
Posisi Pulau Jemur memang strategis, langsung berbatas dengan perairan lepas Selat Malaka dan bebatuan serta tanahnya cukup tinggi. Kami disambut anggota TNI AL, Kopka Muslik di Pulau Jemur ini. Menggunakan teropong pantau TNI AL, bisa dilihat kapal-kapal tanker yang lalu lalang di perairan Selat Malaka. Di malam hari, lampu-lampu pelabuhan Port Lang, Negeri Selangor, Malaysia bisa dilihat. Jaraknya, juga sekitar dua jam menggunakan speedboat atau berjarak 50 KM. Namun bila dilihat di peta google, memang letak pulau Jemur lebih menjorok ke daratan Indonesia.
Kopka Muslik menceritakan semenjak adanya klaim Pulau Jemur oleh Malaysia, hingga kini kapal patroli Belawan, Dumai, KRI Halim Perdana Kusuma secara berkala melakukan patroli. Untuk udara, katanya juga secara berkala pesawat tempur Nomed N22 dari Pangkalan Tanjung Pinang juga melakukan patroli. Untuk patroli perairan, lima orang anggota TNI AL yang bertugas berganti sekali sebulan yang melakukan secara berkala, mengamankan perairan, termasuk mengamankan pencurian telur penyu yang dulu marak terjadi. Tapi sayang, kapal patroli TNI AL Pos Pulau Jemur cukup kecil dengan mesin empat piston.
’’Tapi kami selalu lapor menggunakan radio panggil kondisi terkini pulau. Jadi kalau ada apa-apa, kami langsung kontek minta bantuan. Inilah Pulau Jemur, tidak ada yang berani masuk ke wilayah kita karena sejak zaman Jepang dan Belanda, pulau ini memang milik Indonesia. Bekas bangunan zaman Belanda pun masih ada. Jadi tidak mungkin Malaysia bilang pulau ini milik dia,’’ paparnya.
Konflik antar nelayan Indonesia kata Muslik kadang juga terjadi. Biasanya, pertikaian terjadi karena daerah tangkapan atau rusaknya jaring nelayan karena saling berkait di dalam laut. Jika sudah konflik atau hampir terjadi adu fisik, biasanya para nelayan meminta tolong TNI AL untuk menyelesaikan masalah. Beberapa konflik yang terjadi antar nelayan beda daerah.
’’Kalau ada perkelahian nelayan, biasanya mereka ke sini minta diselesaikan. Ada yang rusak jaringa minta diganti rugi. Kira-kira begitulah biasanya mereka bertikai. Tapi kita selesaikan dengan baik, jika sepatutnya salah satu pihak mengganti, kita minta mengganti. Tapi semuanya bisa diselesaikan secara baik. Tapi kalau nelayan Malaysia, tidak ada yang sampai mencari ikan di sini. Mana berani mereka. Tapi jika pengawasan kita tidak ketat, bisa saja mereka diam-diam mencuri. Kita selalu awasi walaupun dengan kondisi terbatas,’’ te rangnya.
Terdapat bangunan cukup besar, musala, gazebo dan tempat santai yang dibangun menghadap laut lepas. Kami meminta Muslik untuk mendampingi melihat-lihat bangunan tersebut. Awalnya Muslik menolak karena bangunan tersebut bukan kewenangan TNI AL, tapi dibangun Pemkab Rohil. Tetap didesak, akhirnya Muslik mau menunjukkan jalan. Walaupun hanya sebuah pulau kecil, namun semak belukar dan batu cadas bisa menyulitkan, apalagi ancaman ular berbisa yang banyak berkeliaran.
Bangunan cukup besar ternyata memiliki 12 kamar tempat tidur. Satu kamar berukuran sekitar 3,5 x 4 meter dan lengkap dengan kamar mandi termasuk tempat tidur spring bed. Agaknya, kamar-kamar tersebut memang disiapkan bagi yang mau menginap, tapi tidak diketahui apakah untuk turis atau para pejabat. Bangunan tersebut sudah selesai, tapi tidak terawat dengan ditumbuhi semak beluar di depan, belakang dan samping. Pembangunan bangunan tersebut menelan anggaran lebih dari satu miliar.
Berjarak 10 meter, terdapat musala berukuran sekitar 7 x 10 meter. Tapi, lagi-lagi sekelilingnya ditumbuhi semak belukar. Lebih menjorok ke bibir pantai, dibangun Gazebo, tapi kayunya sudah mulai lapuk. Ada juga tempat duduk berpayungkan semenisasi, tapi juga tidak terawat. Dan berjarak sekitar 20 meter dari bibir pantai, terdapat pulau pasir kecil berwarna kuning keemasan yang merupakan tempat habitat bertelurnya penyu hijau.
Agaknya, bangunan permanan yang sudah selesai dibangun, baik di Pulau Labuhan Bilik atau Pulau Jemur baru sebatas simbol karena belum termanfaatkan secara baik, terkesan sekedar untuk meyakinkan bahwa kepulauan tersebut milik Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bila diibaratkan, bangunan fisik tak bertuan tersebut bak orang-orangan ditengah sawah guna menakut-nakuti burung pencuri padi.
Selain memandang perairan Selat Malaka, dari bagian belakang akan terlihat seluruh gugusan pulau Arwah. Dari ketinggian inilah gugusan pulau ini terlihat indah, dengan air laut biru, kadang kehijauan. Tampak pula menara suar yang dibangun Pemkab Rohil di Pulau Batu Mandi.
Kepulauan Arwah dikenal dengan Pulau Jemurnya memang layak dijadikan sebagai salah satu tujuan wisata nan eksotis. Mengelilingi gugusan pulau, agaknya memancing, menyelam, menikmati hasil tangkapan ikan dari nelayan, dan melihat penyu bertelur di malam hari, bisa menjadi daya tarik tersendiri sebagai tujuan wisata. Laut yang tenang juga bisa melupakan kelelahan aktivitas kehidupan sehari-hari perkotaan. Tapi, adanya potensi konflik, baik ancaman klaim dari negara tetangga, konflik nelayan harus diantisipasi sejak dini karena saat ini masih menjadi bara yang bisa membakar sewaktu-waktu.
Belakangan, disebutkan Andi dan Muslik ada beberapa rombongan yang ingin menikmati keindahan kepulauan Arwah, khusus Pulau Jemur. Yang datang, biasanya mencarter speedboat, untuk menyelam, memancing atau sekedar menjawab rasa penasaran tentang keberadaan pulau tersebut.
Sekretaris Dinas Pariwisata Rokan Hilir, Sri Arlina SH ditemui di Rokan Hilir mengakui transportasi dan masih belum terbenahinya sarana prasarana di Pulau Jemur masih menjadi kendala. Untuk kedepan, katanya, upaya Pemkab Rohil untuk mengembangkan kawasan kepulauan Arwah, akan dicarikan investor. ’’Kita sedang mencari investor untuk mengembangkan Pulau Jemur,’’ katanya.(fiz)


0 komentar:

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com