SAUDARA-SAUDARA KU, setiap orang digerakkan oleh dua hal yakni ekonomi (harta) dan rasa aman. Namun ada orang yang digerakkan bukan oleh dua hal di atas. Siapa mereka? Merekalah orang-orang ikhlas yang digerakkan oleh keyakinan akan perjumpaan dengan Allah SWT suatu hari kelak. caranya? ESQ 165 The Way of Live. Join Us!

29 November 2008

Cinta Kursi

. 29 November 2008

Menjadi sesuatu itu penting. Menjadi lurah misalnya. Apalagi jadi Camat, Bupati, Wali Kota, Gubernur. Terlebih lagi bila jadi menteri! Ini bukan sembarang pencapaian. Buah kerja keras dan ketunakan yang dalam. Kalau tak tercapai mimpi jadi menteri, minimal jadi anggota DPRD lah. Dapat juga gelar terhormat dari UU. Asyik. Dalam kebiasaan saat ini, menurut Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) orang dipandang bukan dari apa yang dilakukan (do,doing, done)-nya, melainkan siapa engkau (to be). To be itu identitas. e a Politisi, be an Engginering, be a Kiai, be a Minister, be, be, be lainnya. To be dijunjung-junjung melebihi penghormatan kepada malaikat Jibril.

Dengan cara ini pula orang lalu dibedakan antara some one (penting) dan no-one (tidak penting). Antara man make news dengan man of nothing.Di situlah letak pentingnya kursi. Tentu bukan sembarang kursi tetapi kursi legal formal berupa jabatan yang diakui UU. Dengan kursi seperti itu dijamin nama kita akan naik setinggi langit. Kursi yang seperti itu mengantarkan semua mata memandang ke kita sehingga tak cukup berhalaman-halaman koran untuk menyampaikan kekaguman itu.
Kebanyakan kita memang pencinta kebanggaan. Oleh karenanya kita jadi pecinta kursi (jabatan). Kita merasa itu wajar saja. Berbeda dengan tokoh rekaan Emah Ainun Nadjib-Markesot- dalam sejumlah kolomnya.

Dalam tuturnya, sikap Markesot kerap bertolak belakang dengan kebanyakan kita. Di antara tuturnya ia mengatakan begini. "Kursi kok dicari-cari. Jabatan kok diimpi-impikan. Kedudukan kok dianggap lambang prestasi. Padahal sudah jelas uang sepuluh ribu rupiah saja punya kesanggupan untuk memperbudak manusia. Mana ada manusia yang bisa memperbudak uang," ujarnya.

Kursi itu, katanya, lebih sakti dibanding raja, ulama, jago kebatinan, intelektual, budayawan atau apapun. Raja yang aslinya sebagai manusia sangat baik dan santun, karena kelamaan bergaul dengan kursi bisa berubah jadi monster. Makanya, kata si Markesot, kalau jiwa belum muthmainnah (tenang) dan mental belum zuhud (tidak cinta dunia) jangan bergaul dekat dengan yang namanya kursi.


Markesot kalau bertutur memang susah membendungnya. Menurutnya lagi bagi kaum non elite (rakyat biasa) yang makan sehari saja susah mereka sudah terlanjur apatis dengan segala pergantian entah presiden apalagi menteri-mentri. Siapapun yang jadi menteri, mau kadal, mau kodok, mau pencopet, biar saja. Capee deh... begitu kata anak gaul. Tapi mungkin kita anggap si Markesot berlebihan. Kita layak merasa bangga. Namun karena jumlah man of nothing memang lebih banyak dari man make news membuat pendapat Markesot mendapat tempat di hati mereka. Maka jika ditabulasikan maka jumlah suara yang diam (silen of voice) itu sebenarnya jauh lebih besar dari suara para elite negeri ini meski punya akses ke mana-mana.

Kebudayaan manusia feodalisme modern penuh dengan kerewelan administratif. Gemar dipenjarakan dan memenjarakan diri di dalam identitas, identifikasi, kartu-kartu, kubu, kelompok, serta aliran segala macam kegoblokan-kegoblokan yang lebih parah lagi. Sehingga manusia modern paling sedikit peluangnya menjadi manusia tanpa topeng. Ia harus Kiai, ulama, pengusaha, pejabat, seniman, intelektual atau berbagai macam kategori tolol lainnya untuk merasa berharga. Ia merasa tidak cukup bila hanya jadi manusia saja tanpa prediket lain.

Ah, Markesot memang ahlinya merusak kesenangan orang yang lagi gembira. Kursi bagi sebagian orang terkadang adalah segala-galanya, meski yang mendapatkannya belum tentu berpendapat seperti itu bila ia mengerti kursi itu amanat bukan nikmat.***

0 komentar:

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com